Dalam persidangan, pembuktian merupakan bagian yang tidak boleh dilewatkan. Pembuktian dilakukan untuk menentukan kebenaran materiil dan formil, membantu hakim untuk memberikan pertimbangan hukum atas sebuah perkara, serta memastikan keadilan dalam proses hukum. 


Pembuktian dalam hukum acara pidana diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang mengatur mengenai larangan hakim menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila terdapat sekurang-kurangnya dua bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa yang bersalah melakukannya.


Kemudian, Pasal 184 Ayat (1) KUHAP mengatur mengenai ketentuan alat bukti yang sah terdiri dari, keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, serta keterangan terdakwa. Dalam Pasal 185 Ayat (1) mengatur bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti adalah apa yang saksi tersebut nyatakan dalam sidang di pengadilan.


Lantas, bagaimana keterangan sebuah saksi dapat diterima dalam pengadilan? Keterangan saksi sah sebagai alat bukti dalam perkara pidana ketika saksi tersebut memberikan keterangan atas peristiwa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 27 KUHAP.

Namun, dalam prakteknya terdapat keterangan saksi di persidangan yang tidak mereka dengar, lihat, dan rasakan sendiri. Mereka memberikan keterangan berdasarkan apa yang didengar dari orang lain. Saksi ini disebut sebagai Testimonium de Auditu atau hearsay. Bagaimana kedudukan saksi ini dalam KUHAP? Apakah setelah Putusan MK mengenai perluasan definisi saksi membuat saksi Testimonium de Auditu diterapkan dalam perkara pidana? Simak pembahasan berikut.


Apa yang Dimaksud dengan Saksi Testimonium de Auditu? 

Saksi Testimonium de Auditu atau hearsay evidence adalah keterangan saksi yang mendengar dari orang lain. Menurut Munir Fuady, Testimonium de Auditu (hearsay) atau kesaksian tidak langsung merupakan kesaksian dari seseorang dalam pengadilan untuk membuktikan kebenaran atau fakta, tetapi saksi tersebut tidak mengalami, mendengar, atau bahkan melihat sendiri fakta tersebut.

Keterangan saksi Testimonium de Auditu terbagi menjadi dua kategori, yaitu:

  1. keterangan saksi Testimonium de Auditu yang didapatkan dari saksi fakta atau korban;
  2. dan saksi Testimonium de Auditu yang mendapatkan keterangan dari orang lain. 

Karena mendengar dari ucapan orang lain, maka saksi de Auditu mirip dengan sebutan report, gosip, atau rumor.


Saksi Testimonium de Auditu dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010

Pada tahun 2010, Mahkamah Konstitusi menetapkan Putusan Nomor 65/PUU-VII/2010 mengenai perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang diajukan Yusril Ihza Mahendra ketika kasus korupsi biaya akses fee dan biaya penerimaan negara menimpanya.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonannya, yaitu dengan memperluas definisi dari saksi dan keterangan saksi. Bahwa mereka tidak harus untuk mendengar, melihat, atau mengalami suatu peristiwa agar keterangannya didengar oleh hakim dalam pengadilan. Putusan ini tentunya membawa konsekuensi bagi praktik peradilan pidana di Indonesia, khususnya dalam sidang pembuktian. Apalagi, putusan MK bersifat erga omnes yang mengikat siapa saja tanpa terkecuali dan harus untuk dilaksanakan sehingga jika melihat pengaturan formil melalui Putusan MK, keterangan saksi Testimonium de Auditu dapat didengarkan di pengadilan.


Kedudukan Saksi Testimonium de Auditu Dalam KUHAP

Definisi saksi berdasarkan Pasal 1 Angka 26 adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri. 

Kemudian, dalam Pasal 1 Angka 27 mengatur mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti merupakan keterangan atas peristiwa yang ia dengar, lihat, dan alami sendiri. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, saksi Testimonium de Auditu sebenarnya tidak terdapat dalam hukum pidana materiil dalam KUHAP.

Meskipun begitu, pada praktiknya keterangan saksi Testimonium de Auditu dapat digunakan dan diakui kekuatan pembuktiannya berdasarkan konsepsi perlindungan hak-hak asasi manusia. Tidak hanya itu, keterangan saksi de Auditu juga dapat digunakan sebagai bukti petunjuk dalam hukum acara pidana. Hal ini dapat membantu hakim untuk menemukan fakta-fakta baru sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan sebuah perkara pidana.


Kesimpulan

Saksi Testimonium de Auditu diakui secara formil dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-VIII/2010 yang memperluas definisi saksi sehingga seorang saksi tidak harus untuk mendengar, melihat, dan mengalami peristiwa secara pribadi. Tentunya, hal ini membawa konsekuensi akan diterimanya keterangan saksi Testimonium de Auditu di pengadilan. Meskipun dalam KUHAP tidak diatur secara tegas mengenai saksi Testimonium de Auditu. Namun, keterangan saksi ini dapat membantu sebagai bukti petunjuk dalam hukum acara pidana sehingga membantu hakim menemukan fakta penerang sebagai bahan pertimbangan dalam memutuskan sebuah perkara.


Demikian artikel mengenai Kedudukan Saksi Testimonium de Auditu dalam Hukum Acara Pidana, semoga bermanfaat!


Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis. 


Pembuktian dalam persidangan pidana sangat penting untuk memastikan keadilan, dan berdasarkan KUHAP, putusan pidana hanya dapat dijatuhkan jika terdapat minimal dua alat bukti sah yang meyakinkan hakim. Salah satu bentuk pembuktian adalah keterangan saksi, yang idealnya berasal dari pengalaman langsung saksi (yang dilihat, didengar, atau dialami sendiri). Namun, dikenal pula keterangan dari saksi tidak langsung atau Testimonium de Auditu, yakni keterangan berdasarkan apa yang didengar dari orang lain. Meski KUHAP tidak mengakui secara eksplisit keberadaan saksi de auditu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 memperluas definisi saksi sehingga memungkinkan keterangan jenis ini digunakan dalam persidangan. Meskipun tidak bisa berdiri sendiri sebagai alat bukti utama, keterangan Testimonium de Auditu dapat berfungsi sebagai bukti petunjuk yang membantu hakim menemukan fakta baru dan mempertimbangkan keputusan dalam perkara pidana.

Referensi

Agusta, Umara, N, “Konstruksi Pembuktian Keterangan Saksi Testimonium de Auditu Sebagai Alat Bukti dalam Sistem Peradilan Pidana Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (Analisis Putusan Nomor 93/Pid.B/2013/PN. TK.” Al-Qisth Law Review 6 No. 1. (2022). Hlm. 130-155.

Situmorang, “Kedudukan Hukum (Legal Standing) Keterangan Saksi Testimonium de Auditu Sebagai Alat Bukti yang Sah Pra dan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.” PALAR (Pakuan Law Review) 6 No. 2. (2020). Hlm. 101-122.

Wangke, “Kedudukan Saksi de Auditu dalam Praktik Peradilan Menurut Hukum Acara Pidana.” Lex Crimen 6 No. 6. (2017). Hlm. 146-154.