
Sumber: suara.com
Di Balik Tirai Sirkus: Polemik Oriental Circus Indonesia
Oriental Circus Indonesia (OCI) didirikan oleh Hadi Manansang dan berkembang menjadi pelopor sirkus modern di Indonesia. Awalnya sekitar tahun 1963–1964, Hadi membentuk kelompok Bintang Akrobat dan Gadis Plastik, lalu menjadi Oriental Show pada 1967, hingga resmi berganti nama menjadi OCI pada 1972. OCI memadukan seni pertunjukan modern seperti akrobat, sulap, juggling, dan atraksi hewan liar dengan hiburan lokal tradisional. Pada era 1990-an, OCI mencapai masa kejayaannya dan tampil di berbagai negara seperti Inggris, Amerika Serikat, dan China. Selain pertunjukan keliling Indonesia, OCI juga memiliki hubungan erat dengan pendirian Taman Safari Indonesia oleh Keluarga Manansang.
Dugaan Kejahatan dan Eksploitasi di Balik Oriental Circus Indonesia
- Kekerasan Fisik dan Psikis
Sejumlah mantan pemain sirkus OCI mengungkapkan bahwa mereka mengalami kekerasan fisik dan psikis selama berada di bawah pengawasan OCI. Bentuk kekerasan yang dilaporkan meliputi pemukulan, penyetruman, dan pemaksaan kerja dalam kondisi sakit.
- Eksploitasi Anak
Para korban menyatakan bahwa mereka direkrut sejak usia dini, bahkan ada yang diambil dari panti asuhan, dan dipaksa bekerja sebagai pemain sirkus tanpa mendapatkan gaji yang layak. Mereka juga dipisahkan dari keluarga dan tidak memiliki akses terhadap pendidikan formal dan hanya diajarkan menghitung dan membaca oleh karyawan sirkus.
Ungkapan oleh Mantan Pemain Oriental Circus Indonesia
- Butet
Salah satu mantan pemain sirkus, Butet, menceritakan bahwa ia sering mengalami kekerasan fisik, termasuk dipukuli dan dirantai dengan rantai gajah di kakinya. Bahkan saat hamil, ia tetap dipaksa tampil dan dipisahkan dari bayinya setelah melahirkan
- Fifi
Fifi mengungkapkan bahwa ia pernah disetrum dengan setruman gajah hingga lemas dan dipasung selama dua minggu setelah mencoba kabur dari Taman Safari Indonesia. Ia juga mengalami kekerasan fisik seperti dipukuli dan ditendang dengan rotan.
Tuntutan korban OCI
Dalam video siniar yang diunggah di akun YouTube Podcast Close the Door, dua korban bersama kuasa hukum mereka mengungkapkan empat tuntutan, yaitu:
- Pengungkapan Identitas – Para korban meminta agar asal-usul mereka diungkap, termasuk informasi mengenai orang tua mereka karena banyak dari mereka tidak memiliki identitas resmi sejak kecil.
- Pemeriksaan Kondisi Pemain Sirkus yang Masih Bertahan – Korban menuntut agar kondisi pemain sirkus yang masih berada di OCI diperiksa untuk memastikan apakah mereka tetap di sana karena kesejahteraan atau karena ketakutan.
- Pengadilan HAM – Mereka meminta agar kasus ini dibawa ke pengadilan HAM, mengingat dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi sejak 30 tahun lalu.
- Kompensasi Finansial – Para korban menuntut ganti rugi sebesar 3,1 miliar sebagai bentuk pemulihan hak mereka atas eksploitasi yang terjadi.
- Penyelesaian Hukum – Komnas HAM telah merekomendasikan agar kasus ini diselesaikan melalui jalur hukum, bukan hanya pendekatan kekeluargaan seperti yang pernah diusulkan pada tahun 1997.
Tindakan Komnas HAM dalam Menindaklanjuti Laporan Pertama Kasus OCI pada Tahun 1997
Komnas HAM bersama Komisi XIII DPR RI melakukan Rapat Dengar Pendapat untuk membahas penanganan kasus Oriental Circus Indonesia di Ruang Rapat Komisi XIII DPR RI, Gedung Nusantara II, Jakarta, Rabu (23/4/2025). Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro sangat menyayangkan bahwa kasus ini tak kunjung menemukan titik terang. Komnas HAM pertama kali menerima pengaduan mengenai kekerasan terhadap anak yang dialami mantan pemain sirkus OCI pada tahun 1997. Pada pelaporan pertama, kasus OCI tidak terselesaikan dikarenakan menurut keterangan Komnas HAM, penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh polisi dihentikan oleh Direktorat Reserse Umum Polri pada tahun 1999. Pihak OCI pun juga belum memenuhi tuntutan ganti rugi para korban. Komisaris Taman Safari Indonesia selaku wakil dari OCI mengklaim bahwa OCI mengalami pemerasan oleh pihak mantan karyawan yang melayangkan tuduhan kepada perusahan tersebut. Dengan demikian, Komnas HAM mengambil sikap berbeda dibandingkan pada tahun 1977 terhadap kasus ini, dimana penyelesaian kasus diperlukan secara hukum dan kompensasi untuk korban dinilai perlu.
Pada 1997 saat pertama kali kasus ini dilaporkan kepada Komnas HAM, lembaga tersebut mengeluarkan beberapa rekomendasi tindakan, yakni:
- Oriental Circus Indonesia diminta untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya perbuatan yang cenderung menimbulkan pelanggaran HAM atas pekerjanya;
- Komnas HAM mengajak OCI berkooperasi dalam "menjernihkan" asal-usul anak-anak yang merupakan atlet sirkus tapi belum memiliki identitas;
- Komnas HAM meminta agar praktik latihan yang diterapkan kepada anak-anak atlet sirkus yang disertai dengan disiplin yang keras hendaknya dijaga; dan
- Komnas HAM menilai sengketa yang masih ada antara OCI dengan anak atlet sirkus atau mantan atlet sirkus untuk diselesaikan secara kekeluargaan.
Saat ini, tindakan dari Komnas HAM adalah mencoba untuk menguak kasus ini kembali dengan harapan para korban mendapatkan keadilan yang seadil-adilnya.
Pelanggaran HAM Menurut UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang , dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar,berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Dalam kasus OCI, pelanggaran HAM terjadi dalam bentuk eksploitasi anak, penghilangan identitas, serta kekerasan fisik dan psikis, yang semuanya bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam Pasal 65 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ditegaskan bahwa setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari berbagai bentuk eksploitasi. Oleh karena itu, dugaan eksploitasi anak yang diungkapkan oleh korban dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Pasal ini juga mengatur mengenai hak setiap orang, khususnya anak, untuk mendapatkan perlindungan dari tindak pidana yang merugikan, seperti pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, eksploitasi, dan penyalahgunaan narkoba. Secara lebih rinci, ketentuan ini memberikan jaminan perlindungan terhadap anak dari kekerasan seksual, perdagangan anak, dan penyalahgunaan narkotika. Dalam konteks ini, pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan sirkus OCI, apabila terbukti melakukan pelanggaran, dapat dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan dalam pasal tersebut.
Asas Legalitas dan Asas Non-Retroaktif
Asas Legalitas
Dalam Pasal 1 ayat (1) UU 1/2023 menerangkan bahwa suatu perbuatan merupakan tindak pidana jika ditentukan oleh atau didasarkan pada peraturan perundang-undangan, yang dikenal dalam bahasa latin nullum delictum nulla poena sine praevia lege yang berarti tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu.
Asas Non-Retroaktif
Asas non-retroaktif adalah prinsip hukum yang menyatakan bahwa undang-undang tidak boleh berlaku surut. Artinya, undang-undang hanya berlaku untuk peristiwa yang terjadi setelah undang-undang tersebut diundangkan. Asas Non-retroaktif dapat dilakukan pengecualian dalam kondisi klasifikasi Pelanggaran HAM Berat berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, dimana pelanggaran HAM yang berat tidak dikenakan ketentuan mengenai daluwarsa.Yang mana Artinya, segala bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lampau tetap dapat diproses dan diadili tanpa batas waktu.Pelanggaran HAM berat menurut UU 26/2000 adalah pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan ini dibutuhkan pembuktian yang kuat oleh para korban untuk dapat memenuhi klasifikasi HAM berat.
Lalu, Apakah Kasus Ini Dapat Dibawa Ke Jalur Litigasi?
Untuk menjawab pertanyaan ini, terlebih dahulu kita harus menganalisis beberapa hal seperti apakah kasus tersebut sudah daluwarsa, serta apakah dapat menggunakan peraturan perundang-undangan yang belum disahkan saat kasus ini terjadi.
Apakah Kasus Tersebut Daluwarsa menurut Hukum?
Daluwarsa dalam hukum pidana adalah lewatnya masa tenggang waktu yang mengakibatkan gugurnya atau hapusnya hak untuk menuntut atau melaksanakan hukuman dalam suatu tindak pidana. Tenggat waktu ini sendiri diatur dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dibagi berdasarkan jenis dan lama hukuman pidana. Jika melihat dalam konteks kasus OCI, diduga kasus ini merupakan penganiayaan berat dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Apabila melihat pada Pasal 78 KUHP “terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 tahun, sesudah 12 tahun,” maka terhadap kasus OCI yang merupakan kategori tindak pidana penganiayaan berat (dengan ancaman penjara lebih dari 3 tahun) sudah tidak dapat dilakukan penuntutan pidana. Meskipun begitu, terdapat pengecualian yang didasarkan pada asas lex specialis legi generali, yaitu asas yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Dalam hal ini, hukum yang bersifat khusus yang digunakan adalah UU HAM.
Apakah Undang-Undang Hak Asasi Manusia Dapat Digunakan dalam Kasus Ini?
Dalam hukum, terdapat asas non retroaktif yang artinya suatu peraturan perundang-undangan tidak dapat berlaku surut atau tidak dapat digunakan pada kasus yang terjadi sebelum ada peraturan perundang-undangan yang secara sah mengatur kasus tersebut. Oleh karena itu, seharusnya Undang-Undang Hak Asasi Manusia tidak dapat digunakan dalam kasus OCI tersebut. Namun, dalam Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini (Undang-Undang No. 26 Tahun 2000), akan diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc, yang artinya apabila benar telah terjadi pelanggaran atas Hak Asasi Manusia, tuntutan tersebut dapat digunakan dalam kasus OCI.
Analisis Kesaksian Korban dan Kaitannya Dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Berdasarkan kesaksian mantan pekerja sekaligus korban dari OCI, yaitu Butet yang mengaku bahwa ia sering mengalami kekerasan fisik, termasuk dipukuli dan dirantai dengan rantai gajah di kakinya. Bahkan saat hamil, ia tetap dipaksa tampil dan dipisahkan dari bayinya setelah melahirkan. OCI telah melanggar ketentuan hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal ini mengatur mengenai hak seseorang salah satunya hak untuk hidup, tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak. Hak ini bersifat non-derogable yang artinya tidak boleh dikurangi bahkan dalam keadaan perang sekalipun.
Kesaksian korban lainnya yang bernama Ida menceritakan pengalamannya dibawa ke Oriental Circus Indonesia sejak berusia 5 tahun yaitu pada 1976 untuk dilatih bermain sirkus. Dalam keterangan tersebut, korban menceritakan bagaimana penyiksaan saat latihan hingga dirinya mengalami patah tulang. Ida yang saat itu merupakan anak-anak telah mengalami penyiksaan sedemikian rupa. Dalam UU HAM, anak menjadi subjek hukum yang dilindungi. Pasal 66 Ayat (1) UU HAM mengatur bahwa setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman secara manusiawi.
Kesaksian mantan pekerja OCI memberikan gambaran nyata bahwa pelanggaran terhadap hak asasi manusia merupakan permasalahan nyata yang tidak dapat diabaikan oleh siapapun. Perilaku OCI terhadap mantan pekerjanya menyalahi hak asasi manusia sebagaimana mestinya sehingga perlu dilakukan penyelidikan lebih lanjut mengenai permasalahan tersebut.
Rekomendasi oleh Kementerian HAM
Dalam Konferensi Pers yang diadakan pada 7 Mei 2025 lalu, Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Munafrizal Manan memberikan 4 (empat) rekomendasi terkait aduan mantan pemain sirkus OCI, yaitu:
- agar Komnas HAM dapat segera melakukan penelusuran terkait apakah benar terdapat pelanggaran berat;
- agar tidak hanya Komnas HAM, namun juga Bareskrim Polri untuk turut melakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah benar terjadi tindak pidana.
- agar dilaksanakan pemberian terapi psikologi oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) untuk membantu pemulihan korban.
- agar segera dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dengan permintaan resmi dari DPR.
Oriental Circus Indonesia (OCI), yang awalnya didirikan oleh Hadi Manansang sebagai pelopor sirkus modern di Indonesia, kini menghadapi tuduhan serius terkait pelanggaran hak asasi manusia. Sejumlah mantan pemain, termasuk anak-anak yang diduga dieksploitasi sejak usia dini, mengungkapkan pengalaman kekerasan fisik, psikis, penyiksaan, dan pemisahan dari keluarga tanpa gaji serta akses pendidikan yang layak. Kasus ini pertama kali dilaporkan ke Komnas HAM pada 1997, namun belum mendapat penyelesaian hukum yang memadai. Komnas HAM kini mendorong jalur litigasi dan kompensasi bagi korban, mengingat indikasi pelanggaran HAM berat yang tak mengenal daluwarsa menurut UU No. 26 Tahun 2000. Dalam konteks ini, kesaksian korban seperti Butet dan Ida memperkuat dugaan pelanggaran terhadap UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, khususnya perlindungan terhadap anak dari kekerasan dan eksploitasi. Kementerian Hukum dan HAM juga merekomendasikan penyelidikan bersama Bareskrim dan Komnas HAM, serta pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta untuk menuntaskan kasus ini secara adil.
Referensi
Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, UU Nomor 26 Tahun 2000. LN Tahun 2000 No. 208 TLN No. 4026.
Anonim, “Pengertian Asas Non Retroaktif dan Contohnya di Indonesia.” fahum.umsu.ac.id. 20 November 2024. Tersedia pada https://fahum.umsu.ac.id/info/pengertian-asas-non-retroaktif-dan-contohnya-di-indonesia/. Diakses pada 8 Mei 2025.
Bimo Kresnomurti, “Mengenal Sejarah Oriental Circus Indonesia, Masa Keemasan, hingga Show Terakhir.” Tersedia pada https://caritahu.kontan.co.id/news/mengenal-sejarah-oriental-circus-indonesia-masa-keemasan-hingga-show-terakhir. Diakses pada 8 Mei 2025.
Pratiwi, Muslihah Ananda Putri, “Apa Itu Daluwarsa (Verjaring)? Pahami Perbedaannya dalam Hukum Pidana dan Perdata.” perqara.com. 23 Januari 2025. Tersedia pada https://perqara.com/blog/apa-itu-daluwarsa-verjaring/. Diakses pada 8 Mei 2025.
Intan Setiawanty, Nabila Azzahra, Hanin Marwah. “Deretan Cerita Eksploitasi dan Kekerasan Menurut Mantan Pemain Sirkus OCI”, 23 April 2025, tersedia di https://www.tempo.co/hukum/deretan-cerita-eksploitasi-dan-kekerasan-menurut-mantan-pemain-sirkus-oci-1234616. Diakses pada 8 Mei 2025
Baca Artikel Menarik Lainnya!

Ketegangan Memuncak! Iran Ancam Segel Selat Hormuz...
23 June 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Yuk Gali Lebih Dalam Makna Tanah Ulayat dalam Kehi...
01 May 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →