Dalam proses peradilan, kehadiran saksi tidak menjadi formalitas semata, tetapi merupakan elemen vital untuk mengungkap fakta-fakta hukum. Keterangan saksi dapat menjadi jembatan antara peristiwa nyata dan keyakinan hakim dalam menilai suatu perkara. Oleh karena itu, hukum Indonesia mengatur secara rinci mengenai siapa yang dapat menjadi saksi dan apa jenis-jenisnya. 


Pengertian Saksi dalam Hukum Indonesia

Menurut Pasal 1 Angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), saksi adalah "orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri."


Macam-Macam Saksi dalam Sistem Hukum Indonesia

Dalam praktik hukum, terdapat beberapa jenis saksi yang diklasifikasikan berdasarkan sumber informasi, peran dalam perkara, maupun posisinya terhadap para pihak. Berikut jenis-jenis saksi yang lazim dikenal dalam hukum Indonesia:


1) Saksi Biasa

Saksi biasa adalah individu yang memberikan keterangan berdasarkan apa yang ia lihat, dengar, atau alami sendiri. Inilah jenis saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 26 KUHAP. Saksi jenis ini tidak memiliki kepentingan langsung terhadap perkara.


2) Saksi Korban

Saksi korban merupakan pihak yang secara langsung mengalami akibat dari suatu tindak pidana. Dalam Pasal 1 Angka 2 UU No. 13 Tahun 2006 jo. UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, korban didefinisikan sebagai “orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.”


3) Saksi Ahli

Merujuk pada Pasal 1 Angka 28 KUHAP, saksi ahli adalah orang yang memberikan keterangan sebagai ahli dalam bidang tertentu untuk kepentingan pemeriksaan suatu perkara. Ia tidak perlu mengalami langsung peristiwa pidana, tetapi memberikan opini berdasarkan keilmuannya. Contohnya: ahli forensik, akuntan, atau pakar teknologi informasi.


4) Saksi Mahkota

Saksi mahkota adalah terdakwa dalam perkara yang sama yang dihadirkan untuk memberikan keterangan terhadap terdakwa lain. Meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam KUHAP, praktik ini diperbolehkan sepanjang bukan satu-satunya alat bukti, sebagaimana ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010. Praktik ini kerap digunakan dalam perkara dengan lebih dari satu pelaku.


Penggunaan saksi mahkota juga lazim ditemukan dalam perkara yang melibatkan penyertaan (deelneming), seperti turut serta atau membantu melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), maupun dalam percobaan tindak pidana (poging) yang diatur dalam Pasal 53 KUHP. Dalam konteks ini, kesaksian dari salah satu terdakwa terhadap terdakwa lainnya dapat membantu pembuktian secara lebih menyeluruh, selama tetap memenuhi syarat sebagai alat bukti yang sah dan tidak berdiri sendiri.


5) Saksi De Charge dan Saksi A Charge

Saksi a charge adalah saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum untuk memperkuat dakwaan. Di lain sisi, saksi de charge adalah saksi yang diajukan oleh terdakwa untuk membantah dakwaan. Meskipun istilah ini berasal dari sistem hukum adversarial, penggunaannya telah dikenal luas dalam praktik peradilan Indonesia sebagai bagian dari asas equality of arms.


6) Saksi De Auditu (Hearsay Witness)

Saksi de auditu adalah saksi yang memberikan keterangan berdasarkan informasi yang ia dengar dari orang lain, bukan dari pengalamannya langsung. KUHAP tidak memberikan pengakuan eksplisit terhadap validitas keterangan dari saksi jenis ini, dan Mahkamah Agung dalam beberapa yurisprudensinya menyatakan bahwa keterangan saksi de auditu tidak dapat dijadikan satu-satunya dasar pembuktian.

Putusan Mahkamah Agung No. 1054 K/Pid/1989 menyatakan:


Keterangan yang hanya berdasarkan cerita dari orang lain bukanlah keterangan saksi dalam arti sebenarnya dan karenanya tidak mempunyai nilai pembuktian.”


7) Pelaku yang Bekerja Sama (Justice Collaborator)

Justice collaborator adalah pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar tindak pidana yang lebih besar. Meskipun ia juga pelaku, keterangannya dapat bernilai penting untuk menjerat pelaku utama atau jaringan yang lebih besar. Konsep ini diatur dalam:

a. Peraturan Bersama Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, KPK, LPSK Tahun 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Justice Collaborator, serta

b. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011.


Justice collaborator memiliki perlakuan khusus dalam proses hukum, termasuk kemungkinan mendapatkan keringanan hukuman jika bantuannya berdampak signifikan.


Ragam jenis saksi dalam hukum Indonesia menunjukkan bahwa sistem hukum mengakui berbagai sumber informasi dan peran dalam proses penegakan keadilan. Namun, tidak semua saksi memiliki bobot pembuktian yang sama. Hanya keterangan saksi yang memenuhi syarat hukum, yaitu berdasarkan apa yang ia alami sendiri dan disampaikan di bawah sumpah, yang memiliki kekuatan pembuktian utama. Pemahaman terhadap perbedaan jenis saksi sangat penting, baik bagi praktisi hukum maupun masyarakat umum, agar proses hukum berjalan adil dan akuntabel.


Jika kamu sudah memahami artikel ini dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum bagi masyarakat.

Dalam sistem hukum Indonesia, saksi memegang peran penting dalam mengungkap fakta hukum dan membentuk keyakinan hakim dalam proses peradilan. Berdasarkan KUHAP dan peraturan terkait, terdapat berbagai jenis saksi seperti saksi biasa, saksi korban, saksi ahli, saksi mahkota, saksi a charge dan de charge, saksi de auditu, serta justice collaborator. Setiap jenis saksi memiliki karakteristik dan peran berbeda, dengan bobot pembuktian yang tidak selalu setara. Hanya keterangan yang berdasarkan pengalaman langsung dan disampaikan di bawah sumpah yang memiliki kekuatan pembuktian utama. Oleh karena itu, pemahaman terhadap jenis-jenis saksi sangat penting untuk menjamin proses peradilan yang adil, transparan, dan sesuai hukum.

Referensi

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Justice Collaborator.

Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1054 K/Pid/1989.

Internet

Apriliana, "Macam-Macam Saksi Dalam Perkara Pidana", Info Hukum, 17 Mei 2024, Tersedia pada https://fahum.umsu.ac.id/info/macam-macam-saksi-dalam-perkara-pidana/. Diakses pada tanggal 12 Juli 2025.

Asriansyah, "Jenis Jenis Saksi", Konsultan Hukum Indonesia, 10 Desember 2022, Tersedia pada https://konsultanhukum.id/2024/12/09/jenis-jenis-saksi/. Diakses pada tanggal 12 Juli 2025.

Berliana Fitri Yubi Sanovan, "Materi PKPA: Mengenal Jenis-Jenis Saksi Dalam Hukum Acara Pidana", Heylaw, 16 Agustus 2022, Tersedia pada https://heylaw.id/blog/mengenal-jenis-jenis-saksi-dalam-hukum-acara-pidana. Diakses pada tanggal 12 Juli 2025.

Nafiatul Munawaroh, "Hak Dan Kewajiban Saksi Dalam Perkara Pidana", HUKUM ONLINE.COM, 6 Maret 2023, Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/hak-dan-kewajiban-saksi-dalam-perkara-pidana-lt5394538dd600b/. Diakses pada tanggal 12 Juli 2025.

Prasetyo, "Kedudukan Saksi, Saksi Mahkota Dalam Perkara Pidana", SIP Law Firm, 17 September 2022, Tersedia pada https://siplawfirm.id/kedudukan-saksi/?lang=id. Diakses pada tanggal 12 Juli 2025.

Willa Wahyuni, "Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti", HUKUM ONLINE.COM, 7 Januari 2024, Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/keterangan-saksi-sebagai-alat-bukti-lt6357b0c181f39/. Diakses pada tanggal 12 Juli 2025.