
Sumber: pascasarjana UMSU
Bisa Pilih-Pilih Pasal? Begini Cara Negara Menolak Sebagian Isi Perjanjian Internasional!
Perjanjian internasional merupakan perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Mochtar Kusumaatmadja. Perjanjian internasional diadakan oleh masyarakat bangsa-bangsa yang diklasifikasikan sebagai subjek hukum internasional, seperti negara, organisasi internasional, palang merah internasional, perusahaan multilateral, serta individu dalam hal tertentu.
Dalam hukum perjanjian internasional terdapat asas pacta tertiis nec nocent nec prosunt, atau dikenal juga sebagai asas pacta sunt servanda dalam hukum kontrak internasional. Hal ini memiliki arti bahwa perjanjian internasional hanya mengikat para pihak yang membuat dan menandatangani perjanjian sehingga tidak mengikat pihak ketiga.
Kata sepakat adalah dasar mengikatnya sebuah perjanjian internasional yang mencerminkan adanya sebuah kehendak dari para pihak untuk mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut. Persetujuan menjadi salah satu sumber mengikatnya perjanjian internasional. Apabila para pihak sepakat untuk mengikatkan diri, maka ia sepakat untuk tunduk dalam menjalani hak dan kewajiban yang ada.
Namun, bagaimana jika dalam sebuah perjanjian, terdapat beberapa pihak yang dalam hal ini negara tidak ingin mengikuti beberapa ketentuan dalam perjanjian? Bagaimana praktiknya dalam hukum internasional? Apa implikasinya terhadap perjanjian tersebut? Simak pembahasan berikut ini!
Kenali Pensyaratan (Reservation) dalam Perjanjian Internasional
Pensyaratan berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf d Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian, yaitu “Reservation means a unilateral statement, however phrased or named made by a state, when signing, ratifying, accepting, approving, or acceding to a treaty, whereby it purports to exclude or to modify the legal effect of certain provisions of a treaty in their application to that State.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, pensyaratan dapat diartikan sebagai pernyataan sepihak tanpa memperhatikan bentuk dan nama dari pernyataan tersebut. Pernyataan sepihak harus dilaksanakan saat menandatangani, ratifikasi, mengakseptasi, menyetujui, dan masuk sebagai peserta perjanjian sebagaimana diatur pada Pasal 19 Konvensi Wina 1969.
Sebelum adanya pendapat Mahkamah Internasional (Advisory Opinion), praktik pensyaratan dilakukan berdasarkan suara bulat, artinya sebuah pensyaratan yang dikemukakan suatu negara harus disetujui secara bulat oleh peserta lainnya. Namun, dalam pendapat Mahkamah Internasional yang berhubungan dengan Konvensi Genosida berpendapat, pensyaratan pada perjanjian multilateral tidak harus disetujui semua peserta perjanjian.
Sistem ini disebut sebagai Pan Amerika, perkembangan ini disebabkan oleh dua faktor, yakni:
- Keinginan untuk menjadikan perjanjian internasional sebagai hukum yang lebih penting dalam perjanjian internasional positif dengan pengertian sebanyak mungkin yang diselesaikan dengan perjanjian multilateral;
- Menekankan kepada kedaulatan negara dalam keikutsertaan negara-negara dalam perjanjian.
Pensyaratan memungkinkan suatu negara tetap menjadi pihak dalam perjanjian tanpa harus menerima seluruh ketentuan yang dianggap bertentangan dengan hukum nasional, kepentingan politik, atau nilai budaya. Namun, tidak semua perjanjian internasional memperbolehkan adanya pensyaratan. Beberapa perjanjian yang mengatur isu krusial, seperti hak asasi manusia membatasi adanya pensyaratan guna memastikan keseragaman implementasi. Contohnya Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional (ICC) 1998 yang mengatur pembentukan Mahkamah Pidana Internasional untuk menangani kejahatan serius, seperti genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Prinsip Kesepakatan Bulat (Unanimity Principles)
Unanimity Principles merupakan dasar dalam hukum perjanjian internasional yang menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat negara-negara yang secara sukarela menyetujuinya. Prinsip ini juga berlaku dalam konteks pensyaratan, di mana negara lain dapat menerima atau menolak pensyaratan yang diajukan suatu negara.
Pasal 20 Konvensi Wina 1969 mengatur bahwa penerimaan pensyaratan oleh negara lain akan menentukan efek keberlakuannya. Apabila suatu negara mengajukan pensyaratan dan diterima oleh negara lain, maka ketentuan yang disyaratkan tidak berlaku lagi bagi negara tersebut, tetapi perjanjian tetap berlaku pada bagian atau pasal lainnya. Sebaliknya, jika pensyaratan ditolak, maka negara yang mengajukan mungkin tidak dianggap sebagai pihak perjanjian oleh negara yang menolak, kecuali, mereka mencapai kesepakatan lain.
Prinsip ini mencerminkan adanya keseimbangan antara kedaulatan negara dan kebutuhan untuk menjaga integritas perjanjian. Namun, prinsip ini juga memiliki kelemahan. Jika terlalu banyak negara yang mengajukan pensyaratan, maka perjanjian akan kehilangan efektivitasnya karena ketentuan-ketentuan yang diterapkan tidak seragam.
Prosedur Pensyaratan
Pasal 23 Konvensi Wina 1969 mengatur mengenai prosedur yang harus dilakukan oleh suatu negara jika ingin melakukan pensyaratan. Dalam Pasal 23 Ayat (1) menentukan bahwa suatu pensyaratan, penerimaan, dan penolakan pensyaratan harus diajukan dalam bentuk tertulis. Tujuannya untuk adalah untuk menjamin kepastian.
Pensyaratan harus disampaikan kepada negara peserta lainnya yang menjadi pihak dalam sebuah perjanjian internasional. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 102 Ayat (1) Piagam PBB, di mana perjanjian yang dibuat negara anggota PBB harus didaftarkan pada Sekretariat PBB dan harus segera diumumkan. Ketentuan ini bermaksud agar tidak ada perjanjian rahasia antara anggota PBB yang mungkin membahayakan bagi perdamaian dan keamanan internasional. Pengumuman perjanjian dimuat dalam United Nation Treaties Series (UNTS).
Kemudian dalam Pasal 23 ayat (2) Konvensi Wina 1969 mengatur mengenai pensyaratan yang dibuat oleh sebuah negara pada saat menandatangani perjanjian, sedangkan perjanjian tersebut memerlukan ratifikasi sehingga pensyaratan harus dinyatakan kembali saat negara tersebut meratifikasi perjanjian.
Dalam mengajukan pensyaratan, setiap negara harus memahami bahwa pensyaratan tersebut tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan perjanjian yang diatur dalam Pasal 19 huruf c Konvensi Wina 1969. Misalnya, pensyaratan yang menghilangkan inti kewajiban perjanjian dianggap tidak sah.
Praktik Pensyaratan oleh Indonesia
Sebagai negara yang aktif berpartisipasi dalam hubungan internasional, Indonesia juga tak luput dari penerapan pensyaratan pada beberapa perjanjian internasional. Salah satunya adalah ratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang diundangkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women).
Pensyaratan terhadap konvensi ini diatur dalam Pasal 1 yang menyatakan bahwa Indonesia tidak tunduk terhadap Pasal 29 ayat (1) CEDAW yang mengatur mengenai mekanisme penyelesaian setiap perselisihan antara negara peserta konvensi mengenai penafsiran atau penerapan ketentuan konvensi. Alasannya karena Indonesia ingin mempertahankan haknya untuk tidak terikat pada mekanisme arbitrase atau penyelesaian melalui Mahkamah Internasional sehingga memberikan keleluasaan bagi Indonesia untuk menyelesaikan sengketa melalui cara lain yang dianggap sesuai.
Kesimpulan
Mekanisme pensyaratan membuat setiap negara dapat memilih pasal yang tidak diratifikasi karena bertentangan dengan hukum nasional, kepentingan politik, serta nilai budaya. Pelaksanaan pensyaratan harus memperhatikan ketentuan Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian agar tidak bertentangan dengan kewajiban inti setiap negara dalam sebuah perjanjian.
Indonesia telah menerapkan praktik pensyaratan secara strategis untuk melindungi nilai-nilai nasional tanpa menghalangi partisipasi dalam kerjasama internasional. Dengan memahami mekanisme ini, Indonesia dapat menjaga kedaulatan sekaligus berkontribusi pada tatanan hukum internasional yang adil dan seimbang.
Demikian artikel mengenai pensyaratan dalam perjanjian internasional semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
Pensyaratan adalah mekanisme yang memungkinkan negara menolak pasal tertentu dalam perjanjian internasional tanpa menolak keseluruhan isi perjanjian. Berdasarkan Konvensi Wina 1969, pensyaratan harus diajukan secara tertulis dan tidak boleh bertentangan dengan tujuan perjanjian. Negara lain dapat menerima atau menolak pensyaratan tersebut. Indonesia sendiri pernah mengajukan pensyaratan saat meratifikasi CEDAW untuk menjaga kedaulatannya. Mekanisme ini menjaga keseimbangan antara kepentingan nasional dan kerja sama internasional.
Referensi
Buku
Kusuma, Winanda, Hutapea S. A. Hukum Perjanjian Internasiona. Klaten: Lakeisha, 2022
Suwardi, S, Kurnia, I. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.
Undang-Undang
Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), UU Nomor 7 Tahun 1984. LN Tahun 1984 No. 29. TLN No. 3277.
Jurnal Ilmiah
Theis, “Reservasi Pan America System (PAN) Menurut Hukum Perjanjian Internasional.” Jurnal Lex Privatum 8. No. 3 (2020). Hlm. 118-129.
Baca Artikel Menarik Lainnya!

Bolehkah Negara Menjadikan Vasektomi sebagai Syara...
27 May 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
4 Poin yang Harus Diketahui tentang Hak Kekayaan I...
01 May 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →
DPR RI Dorong Legitimasi Kasino: Solusi Fiskal ata...
26 June 2025
Waktu Baca: 7 menit
Baca Selengkapnya →