
Sumber: unsplash.com
RUU Polri: Menuai Kritik Kewenangan Excessive Ancam Demokrasi & Kebebasan Sipil Masyarakat
Sekilas tentang RUU Polri
Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga atas UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri) resmi dijadikan sebagai usulan inisiatif oleh DPR dalam Rapat Paripurna DPR RI. Pembahasan RUU Polri yang sudah dibahas sejak 2024 lalu menuai sorotan karena sejumlah pasal yang diusulkan mengalami perubahan mendatangkan gelombang kritikan dari masyarakat. RUU Polri dinilai pada prinsipnya memuat sejumlah pasal bermasalah dengan substansi perluasan ugal-ugalan (excessive) kewenangan kepolisian sehingga dapat menjadikannya institusi “superbody” (Sitompul, 2024). Undang-Undang Kepolisian yang dibentuk atas perintah Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 telah mengalami dua kali perubahan, namun sayangnya pada perubahan ketiga RUU Polri juga masih dinilai gagal dalam menyoroti permasalahan fundamental yang terjadi di institusi kepolisian selama ini, tidak terkecuali kegagalan dalam menyorot lemahnya aspek pengawasan dan kontrol publik terhadap kewenangan kepolisian yang begitu besar (oversight mechanism). Peneliti Bidang Kepolisian pada Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) juga menilai permasalahan usia pensiun dan perluasan kewenangan merupakan hal yang sebenarnya tidak substansial dalam materi revisi RUU Polri.
Tugas dan Kewenangan Polri yang diatur dalam UUD dan Peraturan Perundang-Undangan sebelumnya
Dalam UUD NRI 1945, hubungan antar lembaga negara menggunakan konsep Pembagian Kekuasaan yang ditandai dengan adanya check and balances antar kekuasaan yang ada di Indonesia. Pasal 30 ayat (4) UUD NRI 1945 menjelaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum. Dalam Negara Hukum, jenjang norma yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011 menjelaskan secara tersirat bahwa UUD NRI 1945 sebagai norma hukum tertinggi di negara Indonesia perlu diterjemahkan lebih teknis di tingkat Undang-Undang. Pengaturan tersebut juga mencakup Kepolisian Republik Indonesia yang diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Pasal 2 UU 2/2002 menjelaskan bahwa fungsi utama Polri adalah seputar pemeliharaan keamanan dalam negeri meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai dengan diadakannya fungsi tersebut dijelaskan oleh Pasal 4 UU 2/2002 bahwa Polri bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Jika diuraikan, Polri hanya berperan di bidang keamanan dan ketertiban masyarakat, tidak lebih daripada itu seperti yang dijelaskan dalam draft RUU POLRI hingga mencakup keamanan nasional.
Untuk menjalankan fungsi dan perannya, Polri diberikan wewenang umum oleh pembentuk undang-undang dalam pasal 15 ayat (1) bahwa Wewenang Umum Polri mencakup
a. menerima laporan dan/atau pengaduan;
b. membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
g. melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. mencari keterangan dan barang bukti;
j. menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l. memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Dalam ayat (2) dari pasal 15, UU Polri juga menjelaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia juga berwenang untuk:
a. memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat lainnya;
b. menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c. memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d. menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata tajam;
f. memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di bidang jasa pengamanan;
g. memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas kejahatan internasional;
i. melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;
k. melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian
Dalam melaksanakan tugasnya di bidang penegakan hukum Pidana, Polri berwenang untuk
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; mengadakan penghentian penyidikan;
h. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
i. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
j. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan
k. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Pernyataan Presiden
Lebih lanjut, berkaitan dengan polemik yang ditimbulkan oleh rencana RUU Polri, publik bertambah risau dengan pernyataan Presiden Prabowo Subianto yang dinilai tidak memahami instansi kepolisian. Dilansir dari Tempo, Presiden Prabowo Subianto melakukan pertemuan dengan 7 jurnalis dari 7 media berbeda di Hambalang, Jawa Barat pada Ahad, 6 April 2025. Dalam pertemuan tersebut, berbagai pertanyaan terkait masalah ketatanegaraan dan permasalahan lain telah diajukan, termasuk permasalahan terkait RUU Polri yang tengah menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Pertanyaan tersebut salah satunya dilontarkan oleh jurnalis Najwa Shihab.
Dilansir dari ICJR, dalam jawabannya tentang pertanyaan mengenai pengawasan institusi Kepolisian, Prabowo menjawab pengawasan terhadap Polri dapat mengandalkan Kompolnas (ICJR,2025). Pernyataan tersebut kemudian menimbulkan spekulasi di tengah masyarakat bahwasannya Prabowo tidak benar-benar memahami struktural institusi kepolisian dan permasalahan yang menjadi kekhawatiran masyarakat. Pertama-tama, Kompolnas bukan lembaga pengawas eksternal melainkan lembaga kuasa eksekutif yang memiliki fungsi terbatas membantu memberikan pertimbangan kepada presiden dalam kebijakan kepolisian. (ICJR, 2025). Sedangkan, mengenai pengawasan internal, Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Polri tidak bisa menjadi harapan untuk mengawasi penyimpangan, pelanggaran, dan kejahatan yang dilakukan oleh anggotanya (police misconduct), dikarenakan adanya potensi konflik kepentingan dan relasi kuasa yang ada pada tubuh institusi ini (ICJR,2025).
Pasal 16 ayat (1) huruf q: perlambatan akses ruang siber
Isu tentang penindakan, pemblokiran, atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses ruang siber bukanlah pertama kalinya menjadi bahasan dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Banyak kebijakan tentang pemblokiran akses internet maupun perlambatan itu dilakukan oleh Negara kepada masyarakat, salah satunya yang terjadi di Wamena Papua melalui Siaran Pers Nomor 187/HM/Kominfo/2019 tentang Pembatasan Layanan Data di Wamena. Kegiatan itu didasarkan pada ketentuan yang ada pada Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) UU 11/2008 jo. UU 19/2016 (Adhari & Sitabuana, 2021). Dalam menjamin HAM di ranah digital, sebuah Negara demokratis harus memberikan jaminan terhadap akses informasi atau jaminan atas akses publik terhadap informasi tiap warga negara (Noviyanti, et all, 2021). Namun, RUU Polri memberikan wewenang ini kepada Polri dengan syarat koordinasi dengan kementerian komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
Dalam penjelasan pasal 16 huruf q, dijelaskan bahwa Penindakan yang dimaksud dalam pasal tersebut diperuntukkan sebagai upaya preventif terhadap kejahatan di ruang siber. Pasal tersebut bertentangan dengan asas Kepastian Hukum dalam due process of law yang dilakukan Polri terhadap warga negara. Dalam doktrin supremasi hukum, terdapat jaminan konstitusional bahwa pelaksanaan hukum akan selalu bertumpu pada atribusi kewenangan oleh norma hukum (Wahyono,2000). Berjalannya kewenangan tersebut didasarkan pada prinsip due process of law yang berpandangan bahwa pemerintah hanya dapat melakukan perbuatan hukum apabila dilegitimasi oleh UU yang berdasar kepentingan masyarakat.
Dalam hal melakukan pembatasan internet tersebut, Polri diharuskan untuk melakukan koordinasi dengan Komdigi yang saat ini berwenang dalam bidang komunikasi dan informatika. Dalam hal ini, Komdigi tunduk pada UU Administrasi Pemerintahan yang mengedepankan AUPB dalam pelaksanaannya. Bahwa dalam AUPB terdapat asas Kepastian Hukum pada pasal 10 ayat (1). Tindakan Hukum yang dilakukan oleh Pemerintah perlu untuk diwujudkan dalam produk KTUN. KTUN itulah yang akan menjadi kepastian hukum dari penghormatan dan perlindungan hak warga negara serta bentuk check and balances dari Negara Hukum Indonesia. Sehingga, perlambatan akses internet ini tidak hanya tunduk pada RUU Polri, melainkan juga pada AUPB yang dijelaskan di UU Administrasi Pemerintahan.
Pasal 14 ayat (1) huruf b: kewenangan dalam ruang siber?
Lebih lanjut, selain Pasal 16 ayat (1) huruf q, pasal bermasalah lainnya adalah terkait Pasal 14 ayat (1) huruf b RUU Polri. Pasal tersebut dianggap sebagai bentuk perluasan kewenangan kepolisian yang dikhawatirkan akan mengekang kebebasan berekspresi dan berpendapat milik masyarakat dalam ruang siber. Pasal tersebut merumuskan bahwasannya Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) RUU Polri, pada intinya disampaikan bahwa, polri dapat melakukan kegiatan dalam rangka pembinaan, pengawasan, dan pengamanan ruang siber. Hal ini tentu dapat mengancam hak kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia.
Kebebasan berekspresi merupakan salah satu perwujudan kebebasan yang dinamis. Dengan adanya perkembangan zaman dan teknologi yang kemudian memunculkan sosial media, memberikan platform atau wadah pada masyarakat untuk berekspresi melalui sosial media. Meskipun melalui wadah yang berbeda, perlindungan mengenai kebebasan berekspresi tetaplah sama. Konstitusi Indonesia telah menjamin hak kebebasan berekspresi melalui Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Meskipun telah dijamin hak kebebasan berekspresi dalam UUD NRI 1945, permasalahan mengenai pengekangan kebebasan berekspresi masih marak terjadi, terlebih dalam sosial media. Beberapa kasus dalam rentang tahun 2024 hingga awal tahun 2025 ini memberikan berita mengenai pasal-pasal karet yang dapat digunakan untuk melakukan kriminalisasi dalam hal menyampaikan pendapat, terutama dengan kaitannya terhadap penggunaan sosial media.
Pasal 14 ayat (1) huruf j: Polri, Objektivitas, dan Bidang Forensik
RUU Polri juga menciptakan kekhawatiran tambahan selain kekhawatiran terhadap terbatasnya berekspresi dan berpendapat di ruang siber. Masih dalam rumusan pasal 14, pada ayat (1) huruf j pasal tersebut menimbulkan dampak potensial tersendiri dalam bidang forensik. Dalam sistem peradilan pidana, alat bukti ilmiah seperti tes DNA, analisis forensik, dan pemeriksaan psikologis memegang peran krusial. Di Indonesia, kewenangan ini sepenuhnya berada di tangan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) berdasarkan RUU Polri Pasal 14 ayat (1) huruf j. Ketentuan ini memberikan mandat kepada Polri untuk menyelenggarakan identifikasi, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik, dan psikologi kepolisian. Meskipun desain hukum ini bertujuan untuk menciptakan efisiensi dalam proses penyidikan, muncul pertanyaan kritis: bagaimana menjamin objektivitas hasil pemeriksaan ketika penyidik sekaligus menjadi pihak yang melakukan analisis bukti?
Sistem peradilan pidana modern mensyaratkan prinsip impartiality (ketidakberpihakan) dalam proses pembuktian. Namun, ketika Polri bertindak sebagai penyidik sekaligus penyedia layanan forensik, muncul risiko konflik kepentingan yang inheren. Dalam beberapa kasus, seperti yang terjadi dalam perkara tindak pidana korupsi atau pelanggaran HAM, hasil pemeriksaan forensik Polri sering kali menjadi satu-satunya alat bukti yang determinatif tanpa adanya mekanisme verifikasi independen (Human Rights Watch, 2020).
Contoh nyata dapat dilihat dalam kasus kematian seorang aktivis di Papua tahun 2021. Laporan otopsi yang dilakukan oleh tim kedokteran forensik Polri menyimpulkan sebab kematian tertentu, sementara pemeriksaan independen oleh tim dokter lain menemukan indikasi berbeda (Amnesty International, 2022). Perbedaan hasil seperti ini menunjukkan betapa krusialnya pengawasan eksternal dalam proses pembuktian ilmiah.
Pasal 14 ayat (1) huruf j RUU Polri dimana Polri memiliki otoritas penuh atas seluruh proses pembuktian ilmiah. Dalam praktiknya, ini berarti:
a. Polri menentukan standar operasional laboratorium forensiknya sendiri
b. Polri menjadi satu-satunya penilai validitas bukti ilmiah yang mereka hasilkan
c. Tidak ada mekanisme hukum yang jelas untuk melakukan pemeriksaan ulang
Sedangkan, Pasal 14 ayat (1) huruf J RUU Polri: menyelenggarakan identifikasi Kepolisian, kedokteran Kepolisian, laboratorium forensik, dan psikologi Kepolisian untuk kepentingan tugas Kepolisian. RUU Polri memang memberikan kewenangan luas di bidang forensik, tetapi tidak mengatur secara eksplisit mengenai mekanisme pengawasan terhadap pelaksanaan kewenangan tersebut. Berbeda dengan praktik di beberapa negara seperti Amerika Serikat yang memiliki Federal Bureau of Investigation (FBI) Laboratory yang diawasi oleh Department of Justice Inspector General (DOJ OIG, 2019), di Indonesia belum ada lembaga independen yang secara khusus mengaudit kinerja laboratorium forensik Polri. Ketiadaan pengaturan ini bertentangan dengan prinsip due process of law yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Prinsip hukum universal mensyaratkan bahwa dalam sistem peradilan pidana yang adil, harus ada pemisahan yang jelas antara fungsi penyidikan dan fungsi pembuktian ilmiah.
Pasal 14 Pasal Ayat (1) huruf g: Ancaman kebebasan sipil (lagi)
Usulan perubahan yang juga menuai polemik dalam draf RUU Polri juga terdapat dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g. Pasal itu menyatakan Polri bertugas mengoordinasi, mengawasi, dan melakukan pembinaan teknis terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, penyidik lain yang ditetapkan oleh undang-undang, dan bentuk pengamanan swakarsa. Koalisi Masyarakat Sipil menilai usulan perubahan pasal ini justru mendekatkan peran Polri sebagai investigator superbody. Tugas pembinaan terhadap pasukan pengamanan swakarsa yang dimiliki Polri juga perlu dievaluasi. Sebab, Koalisi Masyarakat Sipil menilai tugas itu berpotensi memunculkan pelanggaran HAM maupun ruang bagi ‘bisnis keamanan’ (Tempo,2025).
Pasal 14 ayat (1) huruf g RUU POLRI yang memperluas kewenangan Polri dalam "mencegah, menangkal, dan menanggulangi aktivitas yang dapat mengganggu keamanan dan ketertiban umum" menuai kritik dari berbagai kalangan, termasuk pakar hukum tata negara. Prof. Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, menegaskan bahwa rumusan pasal ini terlalu luas dan berpotensi mengancam kebebasan sipil, karena tidak ada batasan jelas mengenai apa yang dimaksud dengan "mengganggu ketertiban." Ia mengingatkan bahwa dalam negara hukum demokratis, pembatasan hak harus memenuhi asas legalitas, kepentingan umum yang sah, dan proporsionalitas (Asshiddiqie, 2020). Sementara itu, Bivitri Susanti, pakar hukum administrasi negara, menyoroti risiko penyalahgunaan wewenang jika pasal ini disahkan tanpa pengawasan ketat, karena dapat menjadi alat untuk membungkam kritik terhadap pemerintah.
Dampak pasal ini terhadap sistem demokrasi sangat signifikan karena dapat melemahkan checks and balances antara institusi penegak hukum dan masyarakat sipil. Dalam demokrasi, polisi seharusnya berperan sebagai pelindung hak konstitusional warga, bukan sebagai alat represi terhadap perbedaan pendapat. Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Politik menekankan bahwa dalam demokrasi, aparat keamanan harus berfungsi sebagai pelindung hak-hak warga, bukan sebagai alat kontrol politik (Budiarjo,2008). Jika pasal ini diberlakukan tanpa pembatasan yang jelas, dikhawatirkan akan terjadi kriminalisasi terhadap aktivis, jurnalis, atau kelompok minoritas yang dianggap "mengganggu ketertiban" hanya karena menyuarakan pandangan yang berseberangan dengan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law yang menuntut kesetaraan di depan hukum dan perlindungan terhadap minoritas.
Dampak sosial-politik dari pasal ini sangat mengkhawatirkan. Pertama, ia dapat memperburuk iklim demokrasi dengan menciptakan efek jera (chilling effect) bagi masyarakat yang ingin menyampaikan pendapat. Sejarah menunjukkan bahwa pembatasan kebebasan sipil yang terlalu longgar, seperti pada masa Orde Baru, sering digunakan untuk melegitimasi represi terhadap oposisi. Kedua, pasal ini dapat memperlebar ketidakpercayaan publik terhadap aparat, terutama jika Polri dianggap sebagai alat kekuasaan daripada penegak hukum yang netral. Di Indonesia sendiri tercatat bahwa kredibilitas institusi keamanan sangat bergantung pada kesediaan mereka menghormati hak-hak sipil. Oleh karena itu pemerintah jangan sampai melupakan adanya supremasi sipil yang nantinya akan membuat suatu gerakan anarkis untuk membentuk suatu perubahan bagi kondisi bangsa kita saat ini.
Selain itu, pasal ini juga berpotensi memperburuk hubungan antara negara dan masyarakat, karena dapat menciptakan ketakutan akan represi hukum yang sewenang-wenang. Kewenangan aparat harus dibatasi secara jelas untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Jika Polri diberikan kewenangan yang terlalu luas tanpa mekanisme pengawasan yang independen, hal ini dapat mengikis kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Dalam jangka panjang, hal ini bisa melemahkan demokrasi, karena partisipasi politik dan kebebasan sipil adalah pilar utama yang menjaga agar kekuasaan tidak menjadi otoriter. Oleh karena itu, revisi terhadap pasal ini harus dilakukan untuk memastikan bahwa kewenangan Polri tidak mengorbankan hak-hak demokratis warga negara. Jika RUU ini disahkan tanpa perubahan, bukan tidak mungkin Indonesia akan mengalami kemunduran demokrasi, di mana kebebasan berekspresi dikorbankan atas nama stabilitas yang semu. Karena itu, penting untuk mempertegas batasan kewenangan Polri dan memperkuat pengawasan independen agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang yang merugikan masyarakat dan sistem demokrasi itu sendiri.
Pasal 14 ayat (1) huruf n: permasalahan klasik, tidak adanya penjelasan frasa
Pada substansi Pasal 14 ayat (1) huruf n juga memberikan perluasan wewenang kepolisian, dimana dalam pasal tersebut menyatakan “memberikan bantuan dan perlindungan serta kegiatan lainnya demi kepentingan nasional;”. Demi kepentingan nasional tidak disebutkan detail dari dari peraturan tersebut. Penggunaan frasa “demi kepentingan nasional” tanpa penjelasan yang jelas menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak terkait potensi penyalahgunaan wewenang karena menciptakan area abu-abu yang memungkinkan interpretasi yang sangat luas. Ketidakjelasan ini dapat membuka kesempatan bagi penyalahgunaan wewenang dan berpotensi mengancam hak-hak sipil. Maka dari itu perlunya definisi dan batasan-batasan yang jelas sehingga praktik otoritarianisme tidak terjadi.
Pasal 14 ayat (2) huruf c: potensi atau celah proyek?
Selanjutnya, Pasal 14 ayat (2) huruf c juga memberikan perluasan kewenangan kepolisian dalam dalam menyelenggarakan sistem kota cerdas (smart city). Pada pasal tersebut berbunyi “penyelenggaraan sistem kota cerdas (smart city) bekerja sama dengan Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah;”. Polri dalam hal ini sudah terlampau jauh dari tugas utamanya dengan menyelenggarakan sistem kota cerdas (smart city). Dengan hal ini membuka peluang untuk polisi berbisnis dengan proyek-proyek kota cerdas dengan pendekatan sekuritisasi. Hal ini perlu ditinjau kembali karena Polri dalam hal ini menjadi operator pertama dalam penyelenggaraan smart city yang menjadikan Polri sebagai institusi superbody.
Perpanjangan Usia didalam Pasal 30 Ayat (2) dan (3) yang menunjukkan tidak ada urgensi yang jelas
Selain pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan sipil, seperti hak untuk berpendapat dan berekspresi, dalam rumusan Pasal 30 ayat (2) dan (3) juga menjadi suatu perbincangan tersendiri. Perpanjangan usia pensiun bagi perwira tinggi Polri dalam Pasal 30 Ayat (2) dan (3) RUU Polri menimbulkan pertanyaan mendasar tentang urgensi dan relevansinya dalam konteks hukum tata negara serta sistem demokrasi. Secara umum, batas usia pensiun diusulkan menjadi 60 tahun. Namun, bagi anggota Polri yang memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan dalam tugas, batas usia pensiun dapat diperpanjang hingga 62 tahun. Pejabat fungsional Polri juga memiliki batas usia pensiun yang berbeda, yaitu 65 tahun. Kebijakan ini berpotensi melanggar prinsip proporsionalitas dan kebutuhan (proportionality and necessity). Dalam konsep Rule of Law dijelaskan bahwa setiap perubahan hukum harus memiliki dasar rasional dan tidak diskriminatif. Prof. Jimly Asshiddiqie juga menegaskan bahwa pembentukan undang-undang harus melalui proses deliberatif yang melibatkan partisipasi publik untuk memenuhi prinsip democratic legitimacy (Asshiddiqie,2006). Namun, dalam kasus RUU Polri ini, tidak ada penjelasan memadai mengapa perpanjangan usia hanya berlaku untuk perwira tinggi, sementara perwira menengah dan pertama tidak mendapat perlakuan serupa. Hal ini berpotensi menciptakan kesenjangan struktural di tubuh Polri, yang dapat memicu ketidakpuasan di kalangan anggota yang tidak mendapat kesempatan yang sama.
Dalam perspektif hukum tata negara, Hans Kelsen dan Montesquieu menekankan pentingnya pemisahan kekuasaan (separation of powers) untuk mencegah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan (Montesquieu, 1748). Jika perwira tinggi Polri diperpanjang masa jabatannya tanpa alasan yang jelas, hal ini dapat mengganggu mekanisme rotasi kepemimpinan yang sehat, sehingga berpotensi memicu patrimonialisme dan politik dinasti dalam institusi kepolisian. institusi penegak hukum yang sehat harus netral dan bebas dari intervensi politik. Namun, kebijakan perpanjangan usia ini dapat menciptakan ketergantungan perwira tinggi pada kekuasaan politik tertentu, terutama jika proses pengangkatannya dipengaruhi oleh pertimbangan kedekatan dengan elite penguasa.
Dari sisi sosial-politik, kebijakan ini dapat memperburuk citra Polri di mata publik. Max Weber dalam teori birokrasi rasional menyatakan bahwa birokrasi modern harus didasarkan pada kompetensi, bukan senioritas atau lama jabatan. Jika perpanjangan usia pensiun tidak disertai dengan peningkatan kinerja, publik mungkin memandangnya sebagai upaya mempertahankan status quo kekuasaan di tubuh Polri. Seperti yang kita konsep Iron Law of Oligarchy bahkan memperingatkan bahwa setiap organisasi besar, termasuk institusi seperti Polri, rentan terhadap oligarkisasi di mana segelintir elite mengendalikan keputusan strategis tanpa akuntabilitas yang memadai.
Selain itu, kebijakan ini dapat memicu ketidakpuasan sosial di kalangan perwira muda yang merasa terhambat jenjang karirnya. Dalam studi sosiologi politik, Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa kebijakan yang diskriminatif dapat memperkuat ketimpangan struktural dan memicu resistensi dari kelompok yang dirugikan. Jika regenerasi kepemimpinan Polri terhambat karena perpanjangan masa jabatan tanpa alasan kuat, hal ini dapat mengurangi motivasi dan inovasi di kalangan perwira muda, yang pada akhirnya berdampak pada efektivitas penegakan hukum (Bourdieu, 1986).
Selain itu, ketiadaan diskusi publik yang mendalam sebelum pengesahan pasal ini memperkuat kesan bahwa perubahan hukum dilakukan secara sepihak. Partisipasi publik adalah elemen kunci dalam pembentukan kebijakan di negara demokrasi, sebagaimana diatur dalam prinsip democratic legitimacy. Jika RUU Polri tidak melalui proses konsultasi yang inklusif, maka legitimasi pasal ini dipertanyakan. Teori hukum tata negara mengajarkan bahwa hukum yang baik harus lahir dari proses deliberatif yang melibatkan berbagai stakeholders, bukan hanya kepentingan internal institusi. Tanpa itu, kebijakan seperti perpanjangan usia pensiun berisiko dianggap sebagai bentuk legal formalism hukum yang dibuat hanya untuk memenuhi kepentingan segelintir elite, bukan untuk kepentingan publik.
Berdasarkan analisis di atas, Pasal 30 Ayat (2) dan (3) RUU Polri tentang perpanjangan usia pensiun perwira tinggi Polri tidak memiliki dasar urgensi yang kuat, baik dari segi hukum tata negara maupun dampak sosial-politiknya. Kebijakan ini berisiko mengganggu check and balances, memicu ketidakpuasan di internal Polri. Kesimpulannya, Pasal 30 Ayat (2) dan (3) RUU Polri tentang perpanjangan usia pensiun perwira tinggi Polri secara tegas dan lugas tidak mengandung tujuan yang jelas secara hukum maupun fungsional. Dari sudut pandang hukum tata negara, kebijakan ini berpotensi melanggar prinsip proportionality dan necessity. Sementara itu, dalam konteks demokrasi, ketiadaan partisipasi publik dan risiko politisasi mengancam netralitas dan akuntabilitas Polri.
Swakarsa
Pada RUU Polri terdapat perluasan kewenangan untuk memegang kendali atas Pasukan Pengamanan Masyarakat (PAM) Swakarsa. Diaturnya pam Swakarsa perlu ditinjau kembali karena memiliki sejarah kelam pada masa orde baru yang membungkam suara masyarakat yang kritis. Pada zaman orde baru pam swakarsa menjadi salah satu aktor yang menjadikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat terjadi, yaitu Tragedi Semanggi I dan II. Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri akan terulangnya kembali pam swakarsa pada masa lalu. Perlu adanya pengawasan yang ketat terhadap pam swakarsa ini, sehingga apabila aktivitas atau aparat yang bertentangan dengan tugas dan fungsinya dapat dilaporkan ke ranah hukum. Selain itu, penamaan atau istilah pam swakarsa perlu ditinjau ulang karena hal tersebut dapat memengaruhi psikis korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat pada masa lalu.
Meaningful Participation yang tidak ada dan terburu-buru dalam proses penyusunannya
Kedaulatan rakyat dalam konstitusi menghendaki harapan rakyat menjadi nilai tertinggi yang mengatur segala aspek bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Rakyat sebagai pemegang kekuasaan terbesar dalam prakteknya harus berkesempatan untuk berpartisipasi aktif pada semua tahapan pengorganisasian, perencanaan, dan pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan. Namun hal tersebut hanya dianggap sebelah mata dalam pembahasan RUU Polri, karena nyatanya RUU Polri digarap secara senyap, tidak transparan, terburu-buru, nir-urgensi, dan tanpa memberikan ruang partisipasi yang bermakna bagi publik (KontraS, 2024). Inisiasi revisi UU Polri oleh DPR yang dilakukan secara tiba-tiba justru tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Periode 2020-2024 sehingga dinilai bahwa RUU Polri merupakan bentuk penyelundupan legislasi. Hal tersebut dinilai telah mengabaikan kaidah konstitusional yang telah digariskan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PPU-XVIII/2020 yang dengan tegas menjamin hak negara untuk berpartisipasi secara bermakna (meaningful participation). Rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses politik dapat mengakibatkan demokrasi menjadi tidak efektif karena sejatinya kekuasaan harus berasal dari rakyat dan keputusan politik harus mencerminkan kehendak mayoritas.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Untuk mengatasi masalah ini, setidaknya ada tiga langkah reformasi yang perlu dipertimbangkan: Pertama, pembentukan badan pengawas independen yang terdiri dari akademisi, praktisi hukum, dan perwakilan masyarakat sipil untuk melakukan audit rutin terhadap laboratorium forensik Polri. Model seperti ini telah berhasil diterapkan di Inggris melalui Forensic Science Regulator (Law Commission, 2021). Kedua, RUU Polri untuk memasukkan ketentuan tentang hak tersangka/terdakwa meminta pemeriksaan ulang oleh ahli independen. Ketentuan ini sejalan dengan perkembangan hukum acara pidana modern yang mengadopsi prinsip equality of arms dalam proses pembuktian. Ketiga, penguatan transparansi melalui penerapan standar operasional prosedur laboratorium forensik yang terbuka untuk diuji publik, kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang menyangkut rahasia negara.
Kewenangan forensik Polri dalam RUU Polri saat ini ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, ia memberikan efisiensi dalam penegakan hukum, tetapi di sisi lain berpotensi mengikis prinsip keadilan jika tidak disertai mekanisme pengawasan yang memadai. Pembaruan hukum menjadi keniscayaan untuk menjamin bahwa proses pembuktian ilmiah dalam sistem peradilan pidana kita benar-benar objektif, dapat dipertanggungjawabkan, dan sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum. Masyarakat perlu terlibat aktif dalam mendorong reformasi ini, karena pada akhirnya, keadilan yang terwujud adalah keadilan untuk semua.
Berdasarkan kajian yang telah dijabarkan di atas, secara garis besar dapat diketahui bersama bahwasannya instansi Polri memiliki peran krusial dalam kehidupan negara ini. Berkaitan dengan polemik yang timbul dari adanya pembahasan RUU Polri, beberapa rekomendasi lanjut yang dapat diberikan adalah:
- Melakukan pembahasan ulang yang melibatkan unsur Masyarakat dalam pembahasan RUU Polri;
- Merevisi frasa “Kepentingan Nasional” dalam RUU Polri karena menyalahi amanat UUD NRI 1945 bahwa Polri terbatas pada Keamanan dan Ketertiban Masyarakat;
- Mengembalikan fungsi Baintelkam Polri hanya sebatas dalam wilayah Kamtibmas
- Mengembalikan Batas Usia Pensiun dari Polri sesuai UU 2/2002 karena akan menghambat regenerasi kepemimpinan dari institusi;
- Menolak adanya intervensi ruang siber oleh Polri dengan mengembalikan Pertahanan dan Keamanan Siber dalam RUU Pertahanan dan Keamanan Siber yang akan dibahas pada Program Legislasi Nasional agar tidak terdapat tumpang tindih regulasi.
Referensi
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Rancangan Undang-Undang Perubahan Ketiga atas UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (RUU Polri).
Peraturan Internasional
Law Commission. (2021). Regulating forensic science in the UK. London: Law Com No 386.
Buku
Asshiddiqie, J. (2006). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.
Asshiddiqie, Jimly. (2020). Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Konpress.
Budiardjo, M. (2008). Dasar-dasar ilmu politik (Edisi revisi). Gramedia Pustaka Utama.
Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. G. Richardson (Ed.), Handbook of theory and research for the sociology of education (pp. 241–258). Greenwood Press.
Montesquieu. (1748). The spirit of the laws (T. Nugent, Trans.). Hafner Publishing. (Original work published 1748).
Jurnal Ilmiah
Ade Adhari dan Tundjung Herning Sitabuana, Kebijakan Pembatasan Internet di Indonesia: Perspektif Negara Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Kajian Perbandingan, Jurnal Konstitusi 18 (2), 2021.
Noviyanti, Sayid Mohammad Rifqi Noval, Ahmad Jamaludin. Pembatasan Akses Internet oleh Pemerintah saat Terjadi Unjuk Rasa dan Kerusuhan di Papua dan Papua Barat Ditinjau dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal Logika: Jurnal Penelitian Universitas Kuningan 12 (1). 2021.
Sitompul, H. I. (2024). URGENSI RUU POLRI PERUBAHAN FUNDAMENTAL. Jurnal Dimensi Hukum, 8(1), 49–54.
Padmo Wahyono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, dikutip dalam Bambang Sugiono dan Ahmad Husni M. D., “Supremasi Hukum dan Demokrasi”, Jurnal Hukum, Volume 7, Nomor 14, 2000, h. 71.
Internet
Amnesty International. (2022). Indonesia: Failed justice in Papua. London: Amnesty International.
Human Rights Watch. (2020). Indonesia: Police abuse and impunity. New York: HRW.
Institute for Criminal Justice Reform, (2025), Segendang Sepenarian RUU Polri dan RKUHAP: Kewenangan Polisi Terlampau Besar Tanpa Pengawasan Memadai, Klise Prabowo Dengungkan “Absolute Power Corrupt Absolutely”, diambil dari Segendang Sepenarian RUU Polri dan RKUHAP: Kewenangan Polisi Terlampau Besar Tanpa Pengawasan Memadai, Klise Prabowo Dengungkan “Absolute Power Corrupt Absolutely”
Tempo, (2025), Prabowo Bertemu dengan 6 Pemred dan Seorang Presenter TV, Jawab soal Isu Terkini, diambil dari https://www.tempo.co/politik/prabowo-bertemu-dengan-6-pemred-dan-seorang-presenter-tv-jawab-soal-isu-terkini-1228106.
Tempo, (2025), Pasal-pasal di RUU Polri yang Bisa Memantik Kontroversi diakses secara daring melalui https://www.tempo.co/politik/pasal-pasal-di-ruu-polri-yang-bisa-memantik-kontroversi-1230269 pada tanggal 16 April 2025.
Kajian Kolaborasi Kunci Hukum Indonesia dengan Formatera FH UB
Baca Artikel Menarik Lainnya!

Wartawan Diminta Keluar, Transparansi Pemerintahan...
29 April 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Sepak Terjal MBG, Siswa Keracunan Massal Hingga Di...
24 April 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Perdagangan Digital Melaju Cepat, Desakan RUU Perl...
28 April 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →