Sumber: kompas.com
Nonaktif atau Pemecatan? Publik Soroti DPR yang Tetap Menerima Gaji
Jakarta - Sejumlah partai politik di Indonesia resmi menonaktifkan anggotanya dari kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mulai Senin (1/9/2025). Langkah itu ditempuh setelah munculnya berbagai kontroversi terkait pernyataan dan tindakan sejumlah legislator yang dinilai tidak mencerminkan etika politik dan tanggung jawab moral sebagai representasi masyarakat di parlemen. Nama-nama anggota DPR yang dinonaktifkan antara lain Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Partai NasDem, Eko Patrio dan Uya Kuya dari Partai Amanat Nasional (PAN), serta Adies Kadir dari Partai Golkar. Kelimanya dinilai melukai sensitivitas publik setelah sejumlah pernyataan dan tindakan mereka dianggap tidak mencerminkan sikap seorang wakil rakyat.
Meskipun telah diumumkan nonaktif oleh partai, secara hukum kelima legislator tersebut masih berstatus anggota DPR aktif. Hal ini ditegaskan oleh Dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, yang menilai istilah “nonaktif” tidak serta-merta mengubah kedudukan hukum seorang anggota dewan.
Titi menjelaskan, istilah nonaktif memang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), akan tetapi penggunaannya terbatas dan hanya untuk pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Artinya, penerapan istilah nonaktif di luar anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Menurutnya, hal ini penting dipahami publik agar tidak terjadi salah tafsir bahwa anggota DPR yang dinonaktifkan partai otomatis kehilangan kedudukan konstitusionalnya. Titi menegaskan, sepanjang belum ada mekanisme Pergantian Antarwaktu (PAW), status hukum mereka sebagai wakil rakyat tetap melekat meskipun secara politik partai sudah mengambil sikap.
“Penonaktifan yang dilakukan partai itu sifatnya internal, belum menyentuh status hukum sebagai anggota DPR. Secara hukum, mereka tetap sah menjabat sampai ada mekanisme Pergantian Antarwaktu (PAW) yang resmi,” ujar Titi kepada media Kompas.com.
Aturan serupa juga tercantum dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR, yakni nonaktif hanya berlaku bagi pimpinan atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Dengan demikian, penonaktifan yang diumumkan partai politik masih sebatas keputusan internal, bukan mekanisme hukum yang sah untuk mengubah status anggota DPR.
Meskipun tidak lagi menjalankan fungsi kedewanan untuk sementara, anggota DPR yang berstatus nonaktif tetap memperoleh gaji dan tunjangan. Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah, menegaskan hak keuangan tersebut tetap berlaku sesuai aturan.“Kalau dari sisi aspek itu (teknis) ya terima gaji,” kata Said, dikutip dari Detiknews.
Hak keuangan itu diatur dalam Pasal 19 ayat (4) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 serta Surat Edaran Sekretariat Jenderal DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010. Anggota yang diberhentikan sementara tetap menerima hak administratif. Tunjangan itu mencakup gaji pokok, tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi, hingga tunjangan beras.
Namun, selama berstatus nonaktif, mereka tidak dapat menjalankan peran kedewanan seperti menghadiri rapat, menyampaikan pandangan fraksi, atau duduk dalam alat kelengkapan DPR. Oleh karena itu, keterlibatan mereka dalam legislasi maupun fungsi pengawasan pemerintah otomatis berkurang.
Berbeda dengan penonaktifan yang sifatnya hanya internal dan sementara, pemberhentian (pemecatan) anggota DPR berarti pencabutan permanen status jabatan sebagai wakil rakyat. Proses ini jauh lebih kompleks karena harus melalui mekanisme hukum formal yang diatur dalam Pasal 239 UU MD3. Pemberhentian biasanya ditempuh melalui mekanisme Pergantian Antarwaktu (PAW) yang melibatkan partai politik, DPR, dan Presiden. Mekanisme ini menjamin bahwa pemberhentian tidak dilakukan secara sepihak, melainkan berdasarkan prosedur hukum yang jelas.
Berikut beberapa syarat pemberhentian, seperti meninggal dunia, mengundurkan diri, melanggar sumpah jabatan, atau tidak menjalankan tugas selama tiga bulan berturut-turut tanpa alasan sah. UU MD3 juga turut mengatur mekanisme pemberhentian sementara, yaitu ketika seorang anggota DPR berstatus terdakwa dalam perkara pidana dengan ancaman hukuman minimal lima tahun penjara, atau terjerat kasus tertentu seperti korupsi maupun terorisme.
Titi menekankan bahwa Presiden tidak memiliki kewenangan langsung untuk membubarkan atau memberhentikan anggota DPR karena kedudukan Presiden dan DPR setara sebagaimana diatur Pasal 7C UUD 1945. Dengan demikian, pemberhentian bukanlah keputusan sepihak, melainkan hasil mekanisme formal yang melibatkan partai, DPR, dan Presiden.
“Kalau putusan pengadilan menyatakan bersalah, barulah yang bersangkutan diberhentikan tetap. Jika tidak bersalah, maka statusnya dipulihkan. Selama pemberhentian sementara, anggota DPR tetap memperoleh sebagian hak keuangan,” ujar Titi Anggraini.
Dengan demikian, penonaktifan anggota DPR lebih tepat dipahami sebagai sanksi internal politik, bukan perubahan status hukum. Selama mekanisme PAW belum dijalankan, para legislator yang dinonaktifkan tetap sah sebagai anggota DPR. Hingga kini, publik masih menanti langkah nyata partai dan DPR agar akuntabilitas wakil rakyat tidak berhenti pada simbol, melainkan diwujudkan lewat mekanisme hukum yang jelas.
Penulis: Fuji Mayumi Riyenti
Editor: I Gusti Ayu Agung Erlina Putri Astana
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Tarif Dipotong Menjadi 19%, Indonesia Akan Menjadi...
17 July 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →
Mengulik Peran Hukum Adat Indonesia dalam Menjaga...
23 September 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →
Indonesia Jadi Lokasi Uji Coba Vaksin TBC, Antara...
08 May 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →