Sumber: finance.detik.com
Izin Tambang Nikel Raja Ampat: Bisnis atau Jaga "Surga Terakhir di Bumi"?
Jakarta, Kunci Hukum – Pemerintah resmi kembali mengizinkan PT Gag Nikel beroperasi di Pulau Gag, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya. Aktivitas tambang dimulai sejak Rabu (3/9/2025), menyusul perolehan peringkat hijau dari Program Penilaian Kinerja Perusahaan (PROPER).
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menjelaskan, predikat tersebut menunjukkan kepatuhan perusahaan terhadap tata kelola lingkungan dan adanya program pemberdayaan masyarakat. “(Keputusannya) lintas kementerian, sama KLH (Kementerian Lingkungan Hidup) dan KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan),” ujarnya, dikutip Kompas.com (13/9/2025).
PT Gag Nikel merupakan anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam). Perusahaan ini bergerak di sektor pertambangan nikel di Pulau Gag. Dari lima perusahaan pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Raja Ampat, pemerintah telah mencabut empat izin karena sebagian konsesi berada di kawasan lindung Geopark Raja Ampat, PT Gag Nikel menjadi satu-satunya pemegang izin yang masih berlaku. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan, legalitas operasi tambang ditentukan oleh kontrak karya dan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang sah. “Sebuah perusahaan tambang beroperasi atau tidak itu tergantung dari RKAB. Karena enggak mungkin IUP ada, kemudian dia beroperasi tanpa RKAB,” ujarnya (Liputan6, 12/9/2025).
Keputusan pemerintah ini langsung menuai sorotan publik. Raja Ampat dikenal dunia sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dengan sekitar 75 persen spesies terumbu karang global (Tempo, 10/9/2025). Kawasan ini juga masuk dalam wilayah konservasi laut yang telah diakui UNESCO.
Pulau Gag sendiri berstatus pulau kecil. Luasnya sekitar 6.000 kilometer persegi, sehingga masuk kategori yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Regulasi tersebut mengharuskan pemanfaatan pulau kecil memperhatikan kelestarian lingkungan dan keberlanjutan masyarakat lokal.
Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, menilai keputusan ESDM melanggar prinsip perlindungan ekologis. “Memberikan izin tambang untuk beroperasi lagi di wilayah ini menunjukkan keserakahan pemerintah dan korporasi, yang menempatkan perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia di bawah keuntungan ekstraktif jangka pendek,” katanya (Tempo, 10/9/2025).
Greenpeace menegaskan, metode open pit mining yang umum dipakai industri nikel akan mudah menimbulkan kerusakan bentang alam, pencemaran laut, hingga mengancam sumber penghidupan nelayan. Apalagi, izin yang dikeluarkan disebut lebih luas dibanding ukuran pulau itu sendiri.
Gelombang penolakan semakin kuat lewat kampanye #SaveRajaAmpat. Petisi daring yang digagas Greenpeace bersama jaringan masyarakat sipil telah mengumpulkan lebih dari 60 ribu tanda tangan. Desakan utamanya adalah pencabutan izin PT Gag Nikel sekaligus penghentian semua rencana pertambangan maupun pembangunan smelter di wilayah Sorong dan Raja Ampat (Tempo, 10/9/2025).
Bagi masyarakat adat Raja Ampat, laut bukan sekadar ruang hidup, tetapi juga identitas kultural. Pertambangan dikhawatirkan menggerus ruang tradisional itu. Aktivis menilai keputusan pemerintah seakan menutup mata terhadap aspirasi masyarakat lokal yang sebelumnya telah menyampaikan protes terbuka.
Pemerintah menegaskan keputusan diambil secara hati-hati. ESDM menyatakan semua kementerian terkait telah dilibatkan dalam evaluasi, mulai dari KLHK hingga KKP. Presiden Prabowo Subianto juga memerintahkan agar pengawasan ditingkatkan, terutama pada implementasi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan reklamasi pascatambang.
Menteri Bahlil bahkan turun langsung ke Pulau Gag untuk meninjau aktivitas dan berdialog dengan masyarakat. Pemerintah berharap, aktivitas tambang bisa berjalan seiring dengan pembangunan berkelanjutan. Namun, aktivis menilai peninjauan semacam itu belum menjawab masalah utama: apakah eksploitasi di pulau kecil memang sesuai dengan hukum dan kebijakan iklim nasional.
Kasus ini membuka kembali dilema klasik Indonesia: bagaimana menyeimbangkan agenda hilirisasi nikel sebagai penopang ekonomi dengan perlindungan ekosistem yang rapuh. Indonesia berambisi menjadi pemain utama industri baterai kendaraan listrik dunia, tetapi disisi lain bertanggung jawab menjaga Raja Ampat yang disebut sebagai “surga terakhir di bumi”.
Keputusan izin PT Gag Nikel menempatkan pemerintah dalam sorotan tajam, baik dari publik domestik maupun komunitas internasional. Pertanyaan utamanya kini: apakah manfaat ekonomi jangka pendek sepadan dengan risiko kerusakan ekologis yang mungkin tak tergantikan?
Penulis: Tasya Khoerunnisa Himawan
Editor: Kayla Stefani Magdalena Tobing
Baca Artikel Menarik Lainnya!
lsrael Dihantam Ratusan Rudal Iran: WNI Terjebak d...
16 June 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya →
Sanksi Administratif: Bukan Cuma Denda, Ini Bentuk...
12 August 2025
Waktu Baca: 6 menit
Baca Selengkapnya →
Mobil Brimob Tabrak Sipil : Bagaimana Seharusnya P...
01 September 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →