Jakarta – DPR RI resmi mengesahkan APBN Tahun Anggaran 2026 dalam rapat paripurna yang menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,4%. Salah satu program prioritas adalah Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan alokasi anggaran Rp335 triliun. Namun, lonjakan kasus keracunan terkait program ini menimbulkan keprihatinan masyarakat dan berbagai lembaga.


Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa, mengungkapkan bahwa APBN 2026 memiliki delapan fokus utama, di antaranya ketahanan pangan, energi, pendidikan, hingga MBG sebagai upaya meningkatkan kualitas gizi anak sekolah.


Berdasarkan laporan, hingga September 2025 tercatat 5.626 kasus keracunan di 16 provinsi, meningkat drastis dari 1.376 kasus pada Juni. Hal ini memicu opsi pemangku kepentingan untuk melakukan evaluasi menyeluruh atau bahkan menghentikan sementara program MBG dan mengalihkan anggarannya ke sektor pendidikan.


Kekhawatiran masyarakat tercermin dari pernyataan warga Makassar, Lina (42), yang mengaku bingung dengan nilai gizi makanan yang diberikan dalam MBG. Ia mencontohkan menu burger dan lauk sederhana yang entah apakah benar-benar memenuhi standar gizi. "Lagian menu-menu yang disajikan ke anak-anak itu apa memang betul-betul bergizi seperti yang diklaim pemerintah?" ujar Lina mengutip dari wawancara BBC.


Sementara itu, orang tua di Semarang, Catur, berpendapat agar program MBG tetap dilanjutkan dengan pengawasan ketat terhadap kualitas pengolahan dan distribusi makanan.


Sebaliknya, lembaga kajian CISDI menyerukan moratorium sekaligus evaluasi total program ini. Founder CISDI, Diah Saminarsih, mengatakan, "Demi mencapai target 82,9 juta penerima manfaat, pelaksanaan MBG terlalu terburu-buru sehingga kualitas pengelolaan dan distribusi tidak optimal." Diah menambahkan bahwa kasus keracunan dan penggunaan produk makanan ultra-proses yang tinggi gula merupakan pelanggaran hak anak penerima manfaat.


Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, mengakui adanya kekhawatiran tapi menilai kasus keracunan masih dalam batas wajar dengan total 4.711 porsi terkontaminasi dari satu miliar porsi makanan selama sembilan bulan. 


Dadan menegaskan akan memperketat pengawasan melalui pembentukan Satgas KLB dan membuka kantor pemantauan di tingkat kabupaten dan kota mulai 2026. Ia juga menjelaskan mekanisme verifikasi dan pelatihan mitra Satuan Pelayanan Pangan dan Gizi (SPPG) untuk memastikan kualitas.


Meski sejumlah organisasi sipil seperti KPAI, JPPI, dan ICW mendesak penghentian program, Dadan menegaskan fokus utama adalah mencapai target penerima manfaat yang telah direncanakan sejak awal. Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, mengekspresikan keprihatinannya, "Presiden butuh berapa ribu lagi korban? Atau Presiden masih menunggu korban nyawa sehingga program MBG itu dihentikan," dilansir dari Tempo.


Kasus keracunan terbaru terjadi di Banggai dan Garut, sehingga operasi SPPG di sana dihentikan sementara. Penyebabnya bervariasi mulai dari pergantian supplier bahan baku hingga masalah pengiriman makanan.


Program MBG saat ini masih tahap pertumbuhan dan akan memasuki tahap sertifikasi dan akreditasi pada tahun 2026, yang dipercepat untuk beberapa daerah. Dadan menegaskan bahwa menu makanan ultra-proses hanya muncul saat bulan puasa, dan minuman susu berperisa gula tinggi sudah dilarang dalam program.


Dengan meningkatnya kasus keracunan, pemerintah diharapkan melakukan evaluasi total dan memperbaiki akuntabilitas agar program yang bertujuan membangun generasi sehat ini tidak malah menjadi ancaman kesehatan anak-anak sekolah di seluruh Indonesia.


Penulis: Zidan Fachrisyah

Editor: I Gusti Ayu Agung Erlina Putri Astana