Isu Pertambangan Nikel di Pulau Gag Raja Ampat

Pulau Gag di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, merupakan pulau kecil  dengan perairan jernih,  terumbu karang berwarna-warni, hutan mangrove yang rapat, serta pesisir yang menjadi sumber pangan dan penghidupan bagi masyarakat adat. Ekosistem yang rapuh ini selama berabad-abad  menopang keseimbangan alam  sekaligus menjadi fondasi budaya lokal. Namun, di balik keindahan tersebut, Pulau Gag juga menyimpan cadangan nikel dalam jumlah  besar. Potensi tambah ini menjadikan Pulau Gag sebagai incaran investasi  industri ekstraktif. Pertemuan antara nilai ekologis dan nilai komoditas inilah yang menempatkan pulau kecil ini dalam pusaran tarik-menarik kepentingan antara menjaga kelestarian lingkungan, melindungi hak masyarakat adat, dan mengejar pertumbuhan ekonomi nasional.


Aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gag telah menimbulkan tekanan nyata terhadap daya dukung ekologis pulau, dengan potensi kerusakan permanen mengancam  terumbu karang, mangrove, dan wilayah pesisir. Pemerintah sempat melakukan pengawasan ketat terhadap perusahaan tambang, bahkan menghentikan sementara beberapa aktivitas operasional untuk melindungi ekosistem. Namun belakangan ini, izin operasi diberikan kembali kepada PT Gag Nikel, meskipun dengan pengawasan yang lebih ketat. Perubahan kebijakan ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan memperlihatkan kontradiksi antara norma yang tertulis dan praktik lapangan. Hal ini menegaskan adanya ketegangan antara kepentingan investasi, perlindungan lingkungan, dan hak masyarakat adat. Dalam konteks ini, muncul berbagai persoalan hukum yang memerlukan analisis mendalam,  terutama mengenai konsistensi penegakan regulasi dan penerapan prinsip keadilan ekologis.


Permasalahan hukum pertama yang menonjol dalam sengketa pertambangan nikel di Pulau Gag adalah pelanggaran prinsip keadilan ekologis. Aktivitas pertambangan di pulau kecil yang rapuh secara ekologis telah menimbulkan kerusakan mangrove, pesisir, dan terumbu karang yang sifatnya permanen. Padahal, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K) secara tegas melarang aktivitas ekstraktif di pulau kecil, sementara Pasal 28H UUD NKRI 1945 serta Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) menegaskan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.


Inkonsistensi tampak  jelas ketika pemerintah mencabut empat izin usaha pertambangan (IUP) perusahaan lain di Raja Ampat dengan alasan serupa, tetapi tetap mengizinkan PT Gag Nikel beroperasi. Kebijakan yang berbeda ini menimbulkan ketidakpastian hukum karena asas kesetaraan tidak ditegakkan secara  konsisten. Selain itu, prinsip keadilan antargenerasi terabaikan karena kerusakan ekosistem di pulau kecil bersifat permanen dan sulit dipulihkan. Pertanyaan hukumnya adalah: apakah pemerintah telah bertindak diskriminatif dengan tetap memberikan izin kepada PT Gag Nikel meski regulasi melarang aktivitas tambang di pulau kecil? Dengan demikian, isu ini mempertanyakan konsistensi penegakan hukum lingkungan dalam melindungi prinsip keadilan ekologis.


Permasalahan hukum berikutnya menyangkut jurang lebar antara das sollen dan das sein dalam hukum lingkungan. Secara normatif, regulasi telah mengatur secara rinci kewajiban AMDAL, prinsip kehati-hatian, serta larangan eksploitasi di wilayah pulau kecil yang memiliki daya dukung terbatas. Namun, dalam kenyataannya, kegiatan tambang tetap berlangsung meskipun data ilmiah membuktikan adanya kerusakan ekologis yang signifikan di Pulau Gag. Hal ini memperlihatkan lemahnya implementasi hukum serta keberpihakan pada kepentingan ekonomi dan investasi jangka pendek dibandingkan kelestarian lingkungan.


Situasi tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang berimplikasi pada turunnya legitimasi regulasi lingkungan itu sendiri. Hukum yang seharusnya berfungsi sebagai instrumen korektif justru kehilangan daya paksa ketika tidak mampu menghentikan praktik yang jelas-jelas bertentangan dengan norma. Pertanyaan hukumnya adalah: bagaimana mekanisme hukum dapat diperkuat agar tidak berhenti pada norma ideal, tetapi juga efektif di tingkat implementasi? Dengan demikian, isu ini menegaskan pentingnya memperkecil kesenjangan antara hukum dalam teks dan hukum dalam realitas lapangan.


Selain aspek ekologis, permasalahan hukum juga muncul dari sisi perlindungan hak masyarakat adat yang terdampak langsung oleh kegiatan pertambangan. Masyarakat adat Pulau Gag yang secara turun-temurun menggantungkan hidup pada ekosistem laut dan mangrove kerap dipersepsikan sebagai penghambat pembangunan ketika menolak pertambangan. Akibatnya, mereka menghadapi risiko kriminalisasi melalui tuduhan pidana atau tekanan hukum, padahal Pasal 66 UUPPLH menjamin perlindungan anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) bagi pejuang lingkungan. Realitas di lapangan memperlihatkan bahwa perlindungan ini belum berjalan efektif sehingga masyarakat adat tetap dalam posisi rentan.


Dalam konteks tersebut , strategi perlindungan hukum melalui kombinasi class action dan anti-SLAPP menjadi sangat penting untuk memperkuat posisi masyarakat adat. Gugatan kolektif memungkinkan mereka  mengajukan klaim bersama atas kerusakan lingkungan, sementara instrumen anti-SLAPP mencegah kriminalisasi balik. Pertanyaan hukumnya adalah: sejauh mana kedua instrumen ini dapat digunakan secara sinergis untuk menjamin keadilan ekologis dan sosial bagi masyarakat adat Pulau Gag? 


Urgensi penelitian ini terletak pada upaya kajian secara komprehensif tentang bagaimana praktik pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, yang tidak hanya berdampak pada degradasi lingkungan, tetapi juga secara sistematis menggerus hak-hak dasar masyarakat adat. Operasi tambang berpotensi menimbulkan kerusakan ekologis jangka panjang melalui pencemaran polutan, sedimentasi, serta gangguan pada ekosistem laut dan pesisir yang menjadi basis hidup komunitas lokal. Dalam konteks ini, kerusakan ekologis bukan sekadar efek samping, melainkan konsekuensi struktural dari model ekstraktivisme yang menempatkan alam semata-mata sebagai komoditas  tanpa memperhitungkan nilai intrinsik dan keberlanjutan ekosistem


Persoalan tambang di Pulau Gag juga tidak dapat dilepaskan dari dimensi sosial-politik berupa praktik intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat yang menolak tambang. Kriminalisasi ini tidak berdiri sendiri, melainkan merefleksikan ketimpangan kuasa antara korporasi, negara, dan komunitas lokal, di mana hukum seringkali dijalankan bukan untuk melindungi warga dan lingkungan, tetapi justru menjadi alat legitimasi kepentingan kapital. Namun demikian, penelitian ini penting untuk menyoroti bukan hanya apa yang dilanggar, tetapi bagaimana pelanggaran tersebut sudah mulai dinormalisasikan dengan adanya izin tambang yang tidak didampingi dengan proses pengawasan yang ketat.


Fokus kajian diarahkan untuk meneliti sejauh mana prinsip-prinsip keadilan ekologis, yang seharusnya menjamin distribusi manfaat dan beban secara adil, pengakuan atas hak masyarakat adat, serta partisipasi substantif dalam pengambilan keputusan dijalankan atau justru diabaikan di Raja Ampat. Hal ini mencakup analisis kritis terhadap penegakan hukum lingkungan, efektivitas regulasi, serta peran institusi negara dalam mengawal kepentingan ekologis dan hak masyarakat. Pada saat yang sama, penelitian ini juga menekankan pentingnya strategi perlawanan dari masyarakat dan aktivis lingkungan. Mekanisme Anti-SLAPP dan Class Action tidak sekadar instrumen hukum, tetapi representasi dari ruang perlawanan struktural untuk menegakkan keadilan.


Fakta-Fakta Terkait Sengketa Pertambangan Nikel di Pulau Gag Raja Ampat

Pemerintah resmi mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel yang beroperasi di wilayah Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, yang diantaranya, PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (MRP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Nurham. Pengumuman tersebut disampaikan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi pada konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa, 10 Juni 2025. Alasan pencabutan adalah sebagai berikut:


1) Pelanggaran lingkungan.

Seperti, PT ASP menambang di Pulau Manuran seluas sekitar 746 hektar tanpa menerapkan pengelolaan lingkungan dan pengendalian limpasan limbah. PT KSM didapati membuka area di luar izin lingkungan dan di luar kawasan PPKH (±5 ha) di Pulau Kawe, sementara PT MRP tidak dapat menunjukkan dokumen lingkungan dan PPKH untuk kegiatan di Pulau Batang Pele.


2)Masuk kawasan Geopark.

Sebagian konsesi berada atau bersinggungan dengan wilayah Geopark Raja Ampat, yang menuntut perlindungan ketat terhadap keanekaragaman hayati laut dan darat sehingga keberadaan tambang menjadi tidak sesuai dengan status kawasan.


3) Aspirasi daerah dan masyarakat.

Pemerintah juga memperhitungkan penolakan dari pemerintah daerah serta tokoh dan warga setempat serta menyatakan telah melakukan dialog langsung dengan masyarakat yang menentang kehadiran tambang di zona sensitif ini.


Kementerian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) sebelumnya telah melakukan pengawasan terhadap perusahaan yang dicabut izinnya di atas dan PT Gag Nikel berdasarkan Siaran Pers Nomor: SR.109/HUMAS/KLH-BPLH/5/2025, tertanggal 5 Juni 2025. Hasil pengawasan menunjukkan PT Gag beroperasi di Pulau Gag dengan konsesi sekitar ±6.030,53 hektare, di mana termasuk dalam kategori pulau kecil yang membuat aktivitas tambang di sana bertentangan dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. KLH/BPLH kini sedang mengevaluasi persetujuan lingkungan milik PT Gag Nikel. Jika ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan yang berlaku, izin lingkungan mereka akan dicabut.


Namun, Pemerintah tetap mengizinkan tambang PT Gag Nikel beroperasi di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, meski dikritik oleh publik. Sebelumnya operasi PT Gag sempat dihentikan sementara pada awal Juni 2025, namun pada awal September 2025 pemerintah menyatakan perusahaan boleh kembali beroperasi setelah evaluasi Program Penilaian Kinerja Perusahaan (Proper). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, menyatakan kontrak karya PT Gag tidak dicabut karena lokasinya dinilai berada jauh dari kawasan geopark, dan menegaskan bahwa pengawasan akan diperketat. PT Gag memiliki izin operasi produksi sejak 2017 (SK Menteri ESDM Nomor 430.K/30/DJB/2017, berlaku sampai 30 November 2047) serta mengklaim memiliki dokumen AMDAL (2014) beserta adendum pada 2022 dan adendum Tipe A tahun lalu. Namun keberadaan tambang yang masih beroperasi seperti di Pulau Gag ini tetap berisiko memicu konflik horizontal dan dampak negatif terhadap lingkungan sekitarnya.


Perlu untuk diketahui bahwa kegiatan pertambangan yang dilakukan pada Pulau Gag ini telah memberikan kesadaran bahwasannya dampak lingkungan yang diberikan atas kegiatan pertambangan telah merusak alam dan fauna di sekitarnya. Aktivitas pertambangan PT Gag tersebut meliputi beberapa kegiatan dalam laporannya melakukan pembabatan hutan yang mencakup pembukaan lahan sekitar 500 hetare, meskipun Menteri LHK menyebutkan dampak yang terjadi “tidak membahayakan” dan ada klaim hoax tentang kerusakan laut. Menurut dosen sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia (UI), Mahawan Karuniasa menjelaskan bahwa pulau kecil seperti Raja Ampat merupakan ekosistem yang sensitif serta berpotensi menimbulkan dampak lebih besar dibanding pulau besar lainnya.


Gambar 1. Image courtesy of wendy Mitchell/Greenpeace


Berdasarkan fakta data diatas menunjukan kerusakan pada terumbu karang akibat aktivitas penambangan nikel di Pulau Gag yang mana telah menyebabkan sedimentasi berlebihan yang terbawa air hujan ke laut. Hal ini berdampak pada kerusakan terumbu karang dan kematian bagi ratusan biota laut yang bergantung padanya terumbu karang tersebut, termasuk juga hewan air lainnya. Pada sisi masyarakat pula terdampak akan berkurangnya hasil pencarian nelayan setempat dengan hasil yang berskala kecil yang bergantung terhadap ekosistem terumbu karang. Menurut laporan masyarakat setempat, jangar kapal yang diturunkan ke dasar laut telah menyeret dan menghancurkan koloni karang di perairan tersebut, masyarakat juga melaporkan aktivitas kapal tongkang yang mana telah menyebabkan getaran yang mengganggu kenyamanan masyarakat sekitar. 

Gambar 2. Image eksploitasi pertambangan nikel di raja ampat. Dokumentasi pribadi DAP Wilayah III Domberai


Selain kerusakan pada biota laut, aktivitas pertambangan ini juga telah merusak sebagian hutan dengan penggundulan area sekitar pertambangan, langkah demikian memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap lingkungan seperti terjadinya erosi, sedimentasi serta hilangnya sebagian keanekaragaman hayati yang ada di pulau tersebut. Erosi dapat terjadi apabila datangnya curah hujan yang tinggi dengan tidak ada daya tahan seperti layaknya pepohonan tersebut, maka erosi membawa partikel tanah terbawa kepada aliran hujan dan bermuara ke laut sehingga menimbulkan sedimentasi di wilayah perairan sekitar. Tidak hanya berdampak pada ekologis lingkungan saja tetapi dampak ini juga dapat dirasakan oleh masyarakat pada sekitar area pertambangan, bagaimana tidak bahwa proses eksploitasi ini dilakukan dengan memakai alat berat dengan resiko udara yang dihasilkan disehat dan banyak debu karena akibat proses pengeboran pada lahan penambangan.


Masyarakat kini meyakini bahwa aktivitas bisnis ekstraktif pertambangan nikel akan membawa malapetaka, mulai dari penggundulan hutan yang tidak terhindarkan, kerusakan dan pencemaran lingkungan sekitar sehingga kehancuran ekosistem perairan laut yang menjadi daya tahan hidup masyarakat setempat selama generasi ke generasi akan rusak. Selain juga menimbulkan kerusakan pada alam pertambangan ini juga mengganggu kehidupan sosial masyarakat adat sekitar.


Meskipun regulasi peraturan melarang terhadap pertambangan pada wilayah-wilayah tertentu ada fakta yang terjadi terkait aktivitas operasional pertambangan oleh PT Gag masih tetap dijalankan, Penambangan di pulau Gag dapat berpotensi melanggar beberapa regulasi dan yurisprudensi. Mengenai ketentuan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bahwa pulau Gag dengan luas hanya sekitar 60 km2 (6.000 hektare) tergolong sebagai pulau kecil. Dengan ini sesuai peraturan yang ada maka seharusnya pulau Gag tidak digunakan untuk kegiatan pertambangan dan dapat merusak ekosistem yang dilindungi.


Selain itu pula pertambangan di pulau Gag ini melanggar ketentuan pada Undang-undang Minerba No 3 Tahun 2020, terutama pasal 134 ayat 2 yang menyatakan, kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. demikian pula mengenai Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-XXI/2023 yang telah memberikan arahan untuk melarang aktivitas pertambangan di wilayah pesisir dan pulau kecil. MK menegaskan bahwa penambangan mineral di wilayah-wilayah tersebut dapat menimbulkan kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible), melanggar prinsip pencegahan bahaya lingkungan dan keadilan antar generasi.


Namun PT Gag Nikel merupakan satu dari 13 perusahaan yang mendapat izin untuk menjalankan kontrak karya pertambangan di wilayah hutan lindung hingga masa berlaku izin mereka habis, Hanif juga mengungkapkan bahwa wilayah Raja Ampat tempat PT Gag nikel beroperasi juga merupakan kawasan hutan yang dilindungi. Meskipun secara harfiah mereka melakukan pelanggaran yang bertentangan dengan undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tapi PT Gag Nikel juga merupakan pemegang kontrak karya generasi ketujuh dengan Nomor B53/Pres/I/1998 dengan kontrak ini memberi dasar hukum pada PT Gag nikel untuk melakukan kegiatan pertambangan.


Adapun kegiatan pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, telah menimbulkan berbagai pelanggaran serius terhadap prinsip keadilan lingkungan yang esensial, khususnya terkait pengelolaan pulau kecil yang sangat rentan secara ekologi. Pulau Gag yang luasnya hanya sekitar 6.030 hektare masuk dalam kategori pulau kecil menurut UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (PWP3K), yang mengatur bahwa pulau kecil seharusnya dikelola tanpa kegiatan ekstraktif yang berpotensi merusak.


Pertambangan di pulau kecil ini telah melanggar prinsip keadilan antargenerasi, yakni keharusan untuk menjaga kelestarian ekosistem untuk generasi mendatang. Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) telah menemukan pelanggaran serius terkait peraturan lingkungan hidup dan tata kelola pulau kecil pada aktivitas pertambangan di Raja Ampat. Pelanggaran tersebut meliputi kerusakan yang tidak dapat dipulihkan (irreversible) terhadap ekosistem daratan dan laut di sekitar Pulau Gag. Selain itu, luas konsesi tambang melebihi luas pulau itu sendiri yang menjadi indikasi potensi kehancuran lingkungan yang sangat tinggi.


Fenomena ini menunjukkan pengabaian terhadap asas kehati-hatian dan prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan sumber daya alam. Regulasi seperti putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023 secara tegas melarang aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil karena dampak ekologisnya yang merusak dan tidak dapat diperbaiki. Namun, aktivitas pertambangan tetap berlangsung, dan izin beberapa perusahaan tambang telah dicabut oleh pemerintah setelah ditemukan pelanggaran berat lingkungan.


Sejumlah organisasi lingkungan menilai bahwa kegiatan tambang nikel di Pulau Gag berpotensi mengganggu keseimbangan alam di kawasan Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu ekosistem penuh keanekaragaman hayati dan sangat rentan kerusakannya. Pelanggaran ini tidak hanya merugikan lingkungan secara fisik, tetapi juga mengancam hak masyarakat adat dan keadilan sosial-ekologis di wilayah tersebut.


Dengan demikian, pelanggaran terhadap prinsip keadilan lingkungan di Pulau Gag memperlihatkan ketidakharmonisan antara pembangunan ekonomi yang tergesa-gesa dengan perlindungan lingkungan yang berkelanjutan dan adil secara ekologis antar generasi.


Namun di tengah konflik pertambangan nikel di Raja Ampat, masyarakat adat juga menghadapi risiko kriminalisasi yang semakin meningkat. Aktivitas penolakan yang dilakukan oleh masyarakat adat terhadap ekspansi pertambangan nikel kerap dianggap sebagai pengganggu investasi dan pembangunan ekonomi, sehingga berpotensi menimbulkan tekanan hukum dan tindakan kriminal terhadap mereka.


Organisasi pemuda adat dan kelompok masyarakat adat yang menolak keberadaan tambang di wilayah adatnya sering kali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, termasuk dalam penerbitan izin usaha pertambangan (IUP). Penolakan mereka yang sah secara ekologi dan sosial malah rentan dipersepsikan sebagai penghambat proyek sehingga berujung pada kriminalisasi, misalnya melalui tuduhan menghalangi kegiatan hukum atau ilegal.


Ketegangan ini diperparah oleh kurangnya transparansi dan partisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam serta lemahnya perlindungan terhadap hak masyarakat adat. Sejumlah aktivis adat di Raja Ampat secara terbuka menyuarakan kekhawatiran bahwa aktivitas penambangan yang merusak tidak hanya mengancam keberlanjutan lingkungan tetapi juga menempatkan mereka pada posisi rentan terhadap tindakan hukum yang tidak adil.


Pemerintah dan aparat hukum dihadapkan pada tantangan besar untuk menegakkan hukum dengan prinsip keadilan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat, menghindari kriminalisasi yang bisa memperparah konflik sosial dan ekologis di pulau kecil yang sensitif ini.


Regulasi-Regulasi Terkait

1) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;

3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

5) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok;

6) Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat;

7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023;

8) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XXIII/2025.


Analisis Sengketa Pertambangan Nikel di Pulau Gag Raja Ampat

1) Pelanggaran Prinsip-Prinsip Keadilan Ekologis dalam Praktik Pertambangan Nikel di Pulau Gag

Pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, sejak awal lebih menekankan kontribusi ekonomi dan investasi daripada mempertimbangkan kelestarian ekologis pulau kecil yang secara alamiah rapuh. Pulau Gag sebagai wilayah yang memiliki ekosistem yang khas telah mengalami degradasi lingkungan pesisir secara signifikan akibat aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan, seperti PT Gag Nikel yang menimbulkan kerusakan ekosistem. Deforestasi hutan mangrove telah mencapai lebih dari 500 hektare yang menyebabkan hilangnya vegetasi alami dan berkontribusi pada sedimentasi pesisir yang merusak terumbu karang, habitat bagi ribuan spesies laut di Raja Ampat.


Sedimentasi yang berlebihan mengganggu siklus hidup biota laut dan menyebabkan penurunan populasi ikan yang menjadi sumber penghidupan masyarakat lokal. Kerusakan ini tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga mengancam keberlangsungan ekonomi masyarakat adat yang bergantung pada sumber daya alam tersebut. Argumentasi pemerintah mengenai pentingnya investasi dan nilai tambah ekonomi bagi negara sering kali dijadikan alasan utama untuk melanjutkan aktivitas tambang, meskipun kondisi faktual di lapangan menunjukkan kerusakan serius pada lingkungan hidup.


Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, menjelaskan bahwa limbah pertambangan, khususnya yang mengandung logam berat dan asam dapat menimbulkan potensi pencemaran air yang sangat serius dan berisiko besar terhadap ekosistem pesisir Raja Ampat. Meskipun sejumlah izin usaha pertambangan telah dicabut akibat pelanggaran lingkungan, PT Gag Nikel tetap beroperasi dengan alasan belum terbukti melakukan kerusakan lingkungan yang berarti. Kondisi ini menunjukkan dominasi perspektif ekonomi dan investasi yang prioritas atas perlindungan ekologis, meskipun kondisi lapangan dan laporan ilmiah menunjukkan sebaliknya.


Padahal, secara konstitusional Pasal 28H ayat (1) UUD NKRI 1945 menjamin bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat”. Jaminan ini dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), khususnya Pasal 65 ayat (1), menyebutkan bahwa hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta Pasal 66 yang melindungi masyarakat dari kriminalisasi ketika memperjuangkan hak atas lingkungan.


Lebih lanjut, Pasal 36 UUPPLH menegaskan bahwa setiap usaha atau kegiatan yang berpotensi berdampak penting pada lingkungan wajib memiliki izin lingkungan sebagai instrumen utama untuk memastikan kelestarian ekosistem. Selain itu, Pasal 2 huruf n Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) juga mengatur bahwa kegiatan pertambangan wajib memperhatikan prinsip keberlanjutan dan perlindungan lingkungan. Bahkan, pada Pasal 17 UU Minerba menegaskan bahwa pertambangan di pulau kecil dan wilayah pesisir harus dilakukan secara ketat dengan mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.


Dengan kerangka hukum tersebut, prinsip keadilan ekologis seharusnya menjadi pedoman utama dalam pengambilan keputusan perizinan di Pulau Gag. Prinsip ini menuntut kesetaraan nilai antara kepentingan manusia dan kelestarian ekosistem, dengan tujuan menjamin keberlanjutan antargenerasi. Dalam konteks pulau kecil yang memiliki daya dukung terbatas, hilangnya tutupan mangrove atau rusaknya terumbu karang bersifat permanen (irreversible) dan hampir mustahil untuk dipulihkan. Oleh karena itu, pemberian izin tambang di wilayah ekologis yang rapuh sama saja dengan mengabaikan amanat UUD 1945, UUPPLH, dan UU Minerba, sekaligus melanggar prinsip keadilan ekologis.


Pelanggaran tersebut tampak jelas ketika izin operasi pertambangan tetap diberikan meskipun ekosistem mangrove dan terumbu karang menunjukkan kerusakan serius. Studi ilmiah pun mengungkapkan bahwa kerusakan ekologis akibat tambang di Indonesia, termasuk Raja Ampat telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, dengan dampak negatif dramatik terhadap keanekaragaman hayati dan fungsi ekosistem. Fakta ini menggambarkan dominasi perspektif ekonomi atas ekologi, di mana formalitas izin dan kepentingan investasi dijadikan prioritas, sementara bukti ilmiah kerusakan lingkungan diabaikan. Keputusan tersebut tidak  hanya menunjukkan ketidakpekaan terhadap nilai ekologis Pulau Gag, tetapi juga mencerminkan kegagalan dalam menyeimbangkan nilai ekonomi dan ekologi dalam kerangka hukum lingkungan Indonesia. 


Selain kerusakan ekologis, persoalan lain yang tidak kalah penting adalah dampak terhadap masyarakat adat Pulau Gag, sebagai komunitas yang secara turun-temurun bergantung pada laut, ikan, dan hutan mangrove karena kehilangan akses serta hak tradisional atas sumber daya alam yang menopang kehidupan mereka. Hilangnya akses tersebut tidak hanya berdampak pada aspek ekonomi subsisten, tetapi juga mengikis nilai kultural dan spiritual masyarakat yang berakar pada relasi harmonis dengan alam.


Dalam hal tersebut, UUPPLH menegaskan bahwa lingkungan hidup dipandang sebagai semi subjek hukum yang berhak atas perlindungan maksimal. Pasal 65 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sementara Pasal 65 ayat (4) memberikan hak kepada masyarakat untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Akan tetapi, realitas di Pulau Gag menunjukkan lemahnya implementasi norma tersebut, karena terdapat pengabaian pada perlindungan hukum terhadap lingkungan dan masyarakat adat di pulau tersebut.


Selanjutnya, prinsip keadilan ekologis yang seharusnya menjadi inti  dari kebijakan lingkungan hidup semakin tercederai ketika masyarakat adat menghadapi kriminalisasi dan intimidasi saat menolak aktivitas tambang. Kondisi ini tidak hanya menambah beban sosial, tetapi juga memperkuat marginalisasi mereka. Pada Pasal 66 UUPPLH dengan jelas menegaskan bahwa “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Fakta bahwa masyarakat adat masih berpotensi dikriminalisasi memperlihatkan adanya pelanggaran serius terhadap prinsip ini, sekaligus menunjukkan bias hukum yang lebih berpihak pada kepentingan ekonomi jangka pendek daripada perlindungan ekologi dan hak-hak masyarakat lokal. Dengan demikian, kasus pertambangan di Pulau Gag menggambarkan bahwa penegakan atas hak-hak ekologis masyarakat adat tidak hanya penting sebagai bentuk keadilan sosial, tetapi juga sebagai kunci menjaga keberlanjutan ekosistem pulau kecil yang sangat rentan.


Secara keseluruhan, kasus ini memperlihatkan bahwa sistem hukum dan mekanisme pengawasan lingkungan yang ada belum mampu memberikan perlindungan optimal bagi masyarakat adat maupun ekosistem yang mereka jaga. Konflik sosial semakin memburuk akibat lemahnya implementasi hukum serta minimnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya alam di wilayah mereka. Situasi tersebut mencerminkan pelanggaran prinsip keadilan ekologis yang menuntut perlakuan adil tidak hanya terhadap lingkungan, tetapi juga kepada komunitas yang bergantung padanya. Oleh karena itu, penegakan hak ekologis masyarakat adat harus dipandang sebagai bagian integral dari keadilan sosial-ekologis untuk memastikan bahwa kegiatan ekonomi tidak mengorbankan hak dan kelangsungan hidup masyarakat lokal serta keberlanjutan ekosistem.


Pengadilan Negeri (PN) berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara perdata dan pidana pada tingkat pertama, sehingga PN menjadi forum utama untuk sengketa yang muncul akibat aktivitas tambang di Pulau Gag. PN dapat mengadili gugatan ganti rugi, perbuatan melawan hukum, dan perkara pidana terkait pencemaran atau perusakan ekosistem yang diajukan oleh warga, organisasi lingkungan, maupun pemerintah. Fungsi ini menempatkan PN sebagai ruang lingkup  formal untuk menguji klaim hukum dan bukti ilmiah atas dampak lingkungan.


Kewenangan PN berbeda dengan kewenangan tata usaha negara untuk menerbitkan atau mencabut izin, sehingga secara umum hakim PN hanya dapat menyatakan bahwa suatu izin tidak mempunyai kekuatan hukum jika terbukti cacat.  Pernyataan yang tidak sah oleh PN sering memerlukan tindak lanjut administratif atau eksekusi oleh instansi terkait agar operasi benar-benar dihentikan. Akibatnya, putusan PN dapat menjadi tidak optimal dalam memberikan  perlindungan yang efektif apabila  tidak didukung langkah administratif serta  pengawasan yang berkesinambungan.


Kasus Pulau Gag memperlihatkan ketegangan antara keputusan administratif pemerintah yang mengizinkan operasi, seperti  PT Gag Nikel setelah evaluasi tim gabungan dan peringkat Proper dengan  kekhawatiran publik atas dampak ekologis yang meluas.  Perbedaan penilaian tersebut  yang mendorong diajukannya gugatan dan menempatkan PN pada posisi terdepan dalam  penyelesaian perselisihan hukum dan ilmiah. Oleh karena itu, PN dituntut untuk menilai secara cermat  bukti lapangan, dokumentasi investigatif, dan kajian teknis guna  menentukan adanya pelanggaran.


Pencabutan empat IUP pada 10 Juni 2025, menunjukkan bahwa tindakan administratif tegas mungkin dilakukan, namun selektivitas penerapan menimbulkan persoalan kesetaraan penegakan hukum. Ketidaksinkronan antara pencabutan dan pengecualian IUP lain memicu litigasi yang menuntut PN dan/atau PTUN untuk menguji legitimasi administratif tersebut. PN menjadi forum untuk menilai apakah terdapat perbuatan melawan hukum, cacat prosedural, atau kewajiban ganti rugi yang dapat diputuskan secara perdata atau pidana.


Secara normatif, perkara lingkungan yang diajukan ke PN berlandaskan  pada UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, memuat mengenai larangan dan sanksi atas perbuatan yang merusak ekosistem pesisir. Jika  fakta lapangan menunjukkan indikasi pelanggaran terhadap norma-norma tersebut, PN berwenang menguji dalil perdata dan unsur pidana yang diajukan penggugat. Dengan demikian, bukti ilmiah seperti hasil monitoring, AMDAL, dan data sedimentasi menjadi elemen krusial di persidangan.


Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 tahun 2023 memberi pedoman kepada pengadilan, termasuk PN, dalam menangani perkara lingkungan, antara lain terkait  standing, class action, dan perlindungan bagi pejuang lingkungan, sehingga proses persidangan dapat lebih responsif terhadap kebutuhan remedial. Namun, pedoman yudisial menemui batas ketika pelaksanaan putusan memerlukan intervensi administratif lintas kementerian atau pengawasan yang kuat di lapangan. Oleh karena itu, efektivitas putusan PN sering bergantung pada kapasitas eksekusi instansi terkait.


Pasal 66 UUPPLH memberikan perlindungan kepada individu atau aktivis yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup agar tidak dikriminalisasi atau digugat balik, sehingga PN memiliki dasar hukum untuk menolak taktik pembungkaman (anti-SLAPP).  Perlindungan tersebut penting dilakukan pada  Pulau Gag karena laporan organisasi, seperti Greenpeace dan JATAM menunjukkan tekanan terhadap pelapor dan aktivis. PN selayaknya menerapkan ketentuan tersebut  untuk menjaga partisipasi publik dalam pengawasan lingkungan.


Dalam praktik pembuktian, PN memerlukan bukti teknis independen, seperti laporan monitoring, audit AMDAL, dan kesaksian ahli untuk memastikan apakah kegiatan tambang melampaui daya dukung dan merusak fungsi ekologis. Tantangan di lapangan adalah ketersediaan dan kredibilitas pengukuran independen serta kemampuan pengadilan memerintahkan tindakan remedial yang teknis dan terukur. Oleh karena itu, putusan yang baik harus memuat perintah teknis yang dapat diikuti oleh eksekutor administratif.


Meskipun PN dapat menjatuhkan sanksi perdata berupa ganti rugi maupun perintah penghentian serta  merekomendasikan pemulihan, implementasi putusan kerap terhambat tanpa pengawasan independen dan koordinasi antar-instansi. Laporan Mongabay menyorot keraguan publik terhadap transparansi klaim kepatuhan seperti peringkat proper hijau, sehingga pengawasan pasca-putusan menjadi sangat penting. Tanpa mekanisme monitoring yang kredibel, perintah pengadilan berisiko hanya menjadi simbolik.


PN berpotensi memajukan yurisprudensi lingkungan yang memperluas tafsir substantif perlindungan ekosistem apabila putusan mengandung remedial konkret, yakni pemulihan habitat, audit independen, dan kompensasi terukur. PERMA No. 1 tahun 2023 mendorong langkah-langkah tersebut, namun realisasinya memerlukan politik hukum dan sumber daya administratif yang mendukung. Dengan perintah remedial yang jelas dan dapat dieksekusi, PN bisa menjadi penggerak perubahan penegakan hukum lingkungan.


Di Pulau Gag, dinamika klaim kepatuhan perusahaan, seperti  klaim Proper hijau berhadapan dengan bukti historis mengenai dampak ekologis berupa  pembabatan hutan dan sedimentasi, sehingga PN menjadi arena legitimasi hukum dan sosial untuk menilai kedua sisi klaim tersebut. Agar putusan tidak berhenti pada deklarasi, PN perlu memformulasikan perintah secara jelas terkait audit independen dan rencana pemulihan yang dapat diawasi publik. Dengan demikian, pengadilan mampu menerjemahkan keputusan hukum menjadi tindakan yang melindungi fungsi ekologis.


2) Das Sein dan Das Sollen dalam Penanganan Sengketa Pertambangan Nikel

Kenyataan di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan signifikan antara prinsip keadilan ekologis sebagaimana diamanatkan oleh hukum dengan  praktik  pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat. Aktivitas pertambangan yang dilakukan  PT Gag Nikel telah menimbulkan kerusakan serius dan permanen pada ekosistem pesisir, termasuk deforestasi hutan mangrove, degradasi terumbu karang, serta gangguan terhadap populasi biota laut yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat. Meskipun sejumlah izin usaha pertambangan dicabut karena pelanggaran lingkungan, perusahaan ini tetap beroperasi dengan dalih  bahwa bukti kerusakan lingkungan belum cukup untuk menghentikan aktivitas.


Praktik tersebut menunjukkan dominasi perspektif ekonomi dan investasi atas pertimbangan ekologis. Lebih jauh, masyarakat adat yang menolak kegiatan tambang menghadapi  risiko kriminalisasi, intimidasi, dan marginalisasi sosial, meskipun secara hukum mereka dilindungi oleh ketentuan anti-SLAPP dalam Pasal 66 UUPPLH. Realitas ini menegaskan bahwa prinsip keadilan ekologis, yang menekankan keseimbangan antara kepentingan manusia dan kelestarian lingkungan belum menjadi dasar yang efektif dalam penanganan sengketa pertambangan. Kondisi ini tidak hanya memperlihatkan kegagalan implementasi hukum, tetapi juga menyoroti adanya bias sistemik yang lebih mengutamakan keuntungan ekonomi jangka pendek ketimbang kelestarian ekosistem pulau kecil yang rapuh dan hak-hak masyarakat adat yang bergantung pada sumber daya alam setempat.


Menilik problematika pada aspek penambangan di Pulau Raja Ampat dilakukan oleh PT GAG Nikel dalam aktivitas penambangan diduga telah melanggar regulasi dan  menimbulkan kerusakan  lingkungan yang parah. Izin usaha pertambangan yang dimiliki oleh PT Gag nikel tersebut memang tidak dapat dikategorikan illegal karena PT Gag Nikel  adalah pemegang kontrak generasi ketujuh dengan Nomor B 53/Pres/I/1998 yang ditandatangani oleh presiden soeharto kala itu. Selain pada dugaan merusak alam di pulau raja ampat, konflik juga tak bisa dihindarkan dengan masyarakat adat sekitar yang mana bahwa aktivitas pertambangan oleh PT Gag Nikel ini telah merusak hutan adat dan kawasan konservasi yang dilindungi serta fakta yang terjadi akibat adanya pertambangan ini mata pencaharian masyarakat sekitar seperti nelayan tak bisa mendapatkan hasil yang maksimal akibat rusak nya ekosistem laut.


Secara  regulasi, kegiatan penambangan tersebut tidak sejalan  dengan Undang-undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sebab aturan tersebut  secara tegas melarang kegiatan pertambangan di pulau-pulau atau wilayah yang kecil untuk dapat mencegah terjadinya kerusakan pada ekologis dan pencemaran lingkungan ekosistem yang ada. Seperti Pulau raja ampat termasuk ke dalam kategori pulau kecil yang luas nya dibawah 2.000 km2.


Berdasarkan fakta yang ada di lapangan, sengketa eksploitasi Pulau Raja Ampat  melibatkan berbagai hal, salah satunya adalah politik dan kepentingan kelompok tertentu. Perlu dilakukan pendampingan secara hukum bagi masyarakat yang terdampak pertambangan , mengingat penyelesaian secara diplomatis sulit untuk dicapai. Penyelesaian jalur litigasi kerap kali ditempuh, akan tetapi  kendala  biaya menjadi faktor utama yang menghambat masyarakat dalam memperjuangkan haknya. Dengan demikian,  penyelesaian sengketa pertambangan seharusnya dilakukan berdasarkan prinsip  keadilan hukum, transparan, dan terintegrasi, sehingga hukum dapat berfungsi sebagai  instrumen penting sekaligus memberikan jaminan hak kepada masyarakat maupun kelestarian  alam di Pulau Raja Ampat.


3) Pertautan antara Anti-SLAPP dan Class Action sebagai Strategi Perlindungan Hak Masyarakat Adat

Permasalahan pertambangan nikel di wilayah Raja Ampat berpotensi mengarah pada kriminalisasi terhadap masyarakat adat setempat. Dampak lingkungan yang  ditimbulkan oleh aktivitas tambang mendorong warga  bergerak menolak  demi menyelamatkan ruang hidup dan sumber mata pencaharian mereka. Laporan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)  bahkan mencatat adanya intimidasi dan upaya kriminalisasi, termasuk pemanggilan aparat terhadap tokoh adat atau pelabelan masyarakat penolak tambang sebagai “penghambat pembangunan”. Kondisi ini juga memicu ketegangan horizontal di beberapa kampung, terutama antara kelompok yang menerima investor dan kelompok yang tetap berpegang pada prinsip-prinsip adat.


 Situasi serupa terlihat dalam perkara masyarakat adat Pulau Wawonii dengan PT Gema Kreasi Perdana (GKP) yang menjalankan kegiatan pertambangan nikel di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara. Sedikitnya terdapat 44 orang mengalami proses kriminalisasi ketika  memperjuangkan hak atas lingkungan tempat tinggalnya, dan dua di antaranya  dijatuhi hukuman penjara dengan dakwaan serius seperti penganiayaan dan percobaan pembunuhan, tuduhan yang banyak pihak nilai tidak berdasar. Ada pula warga yang ditahan selama berminggu-minggu dan baru dibebaskan setelah menyetujui pelepasan lahan kepada perusahaan.Situasi tersebut menggambarkan tekanan  berat terhadap masyarakat setempat.


Peristiwa Wawonii mempertegas pola negatif yang kerap muncul ketika pertambangan masuk ke pulau-pulau kecil, yaitu munculnya konflik horizontal dan kriminalisasi terhadap penduduk lokal, kerusakan ekologis  jangka panjang,  serta semakin terpinggirnya posisi sosial-ekonomi masyarakat adat. Padahal, pulau-pulau kecil seperti Pulau Wawonii maupun Pulau Gag telah mendapat perlindungan hukum agar terhindar dari aktivitas pertambangan yang berpotensi merusak, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 35 huruf j dan k UU PWP3K yang diperkuat oleh Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023.


Fenomena seperti di atas lah yang dimaksud dengan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) merupakan upaya hukum yang diajukan oleh individu maupun korporasi dengan tujuan utama menekan, mengintimidasi, atau membungkam pihak-pihak yang aktif menyuarakan isu lingkungan. Di Indonesia, praktik SLAPP kerap dipakai oleh perusahaan besar sebagai sarana untuk melemahkan aktivis lingkungan, komunitas adat, maupun jurnalis yang berusaha mengungkap kegiatan yang berpotensi merusak alam.


Untuk mencegah potensi kriminalisasi serupa, diperlukan strategi perlindungan hukum  melalui konsep  Anti-SLAPP. Pasal 66 UUPPLH memberikan legal standing yang jelas, yang dengan tegas menyatakan bahwa: “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.”


 Ketentuan tersebut diperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XXIII/2025. Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan bahwa frasa “setiap orang” dalam Pasal 66 UUPPLH harusnya dimaknai luas sebagai bentuk perlindungan hak konstitusional atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Perlindungan ini tidak hanya berlaku bagi korban atau pelapor pencemaran, tetapi juga mencakup masyarakat adat, aktivis, organisasi lingkungan, saksi, maupun ahli yang memperjuangkan atau terlibat dalam pemulihan lingkungan.


MK menilai Penjelasan Pasal 66 UUPPLH yang membatasi perlindungan hanya pada korban atau pelapor merupakan bentuk penyempitan makna norma, sehingga berpotensi  mengurangi partisipasi masyarakat.  Penjelasan tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip konstitusional, asas partisipasi, serta semangat perlindungan HAM. Oleh karena itu, MK menyatakan bahwa frasa “setiap orang” harus dimaknai secara inklusif agar tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dapat tercapai.


Selain itu, instrumen Anti-SLAPP juga diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat. Bahkan Pasal 5 PERMEN tersebut secara tegas melarang tindakan pembalasan dalam bentuk apapun terhadap pejuang lingkungan, seperti di antaranya pelemahan perjuangan dan partisipasi publik, somasi, proses pidana, atau gugatan perdata yang dilakukan dalam bentuk ancaman tertulis, ancaman lisan, kriminalisasi, atau kekerasan fisik maupun psikis.


Pasal 70 UUPPLH juga menegaskan hak masyarakat  untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Peran ini dapat diwujudkan melalui pengawasan sosial, penyampaian saran, pendapat, keberatan, pengaduan, maupun informasi/laporan. Tujuannya adalah meningkatkan kepedulian, kemandirian, keberdayaan, serta kemitraan masyarakat, menumbuhkan kepeloporan dan ketanggapan dalam pengawasan, sekaligus menjaga budaya serta kearifan lokal demi kelestarian lingkungan.  Dengan demikian, legal standing Anti-SLAPP sebenarnya sudah kuat secara normatif,  meski praktik di lapangan sering kali masih melanggarnya. 


 Disisi lain, masyarakat juga dapat melakukan sebuah gugatan keperdataan yang dilakukan dengan atas nama atau mewakili kepentingan kelompok yang memiliki kesamaan fakta hukum kepada para korporasi pertambangan yang dinilai telah merugikan hak-hak hidup mereka, konsep inilah yang biasa dikenal dengan Class-Action.


Secara normatif, Class-Action dirumuskan sebagai upaya tindak lanjut dari kerugian materiil dan immateriil yang diderita oleh korban perusakan lingkungan hidup oleh hasil kegiatan tambang. Definisi korban dalam hal ini adalah individu masyarakat ataupun kelompok, dan diatur lebih lanjut dalam Pasal 91 UUPPLH. Konsepsi tentang kerugian tersebut dapat berupa gugatan ganti rugi/kompensasi dan pemulihan/restorasi ekologis yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. 


Pengaturan tersebut memberikan kesempatan kepada kelompok nelayan, masyarakat adat, atau komunitas pesisir yang terdampak oleh sedimentasi, kerusakan terumbu karang, dan pencemaran lingkungan. Sehingga melalui gugatan tersebut, hakim akan menilai kesamaan fakta dan kerugian yang sesuai dengan fakta persidangan. Pengaturan tersebut juga mengatur pemberitahuan dan mekanisme keluar (opt-out) bagi anggota kelompok yang tidak ingin terikat dalam hasil putusan hakim. Putusan yang dihasilkan berlaku kolektif dan mencakup seluruh anggota kelas, sehingga lebih efisien dibandingkan gugatan individual.


Laporan menunjukkan bahwa aktivitas tambang di Pulau Gag menyebabkan sedimentasi ke laut,  di mana lumpur atau materi sedimen  terbawa dari daratan  dan menutupi terumbu karang, sehingga  menghalangi sinar matahari yang sangat dibutuhkan terumbu agar dapat fotosintesis. Kondisi ini mengganggu ekosistem laut dan keanekaragaman hayati laut. Laporan menyebut bahwa lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi asli di Pulau Gag terancam rusak  akibat aktivitas pertambangan. Vegetasi  berfungsi penting sebagai penyerap karbon, pelindung tanah terhadap erosi, yang sangat penting bagi habitat flora dan fauna lokal. 


Kerusakan vegetasi dan hutan laut / pantai juga dapat memperlemah kemampuan alam Pulau Gag dalam menahan gangguan seperti badai, banjir, atau perubahan iklim lokal. Pencemaran air laut juga dikemukakan sebagai dampak yang dikhawatirkan, misalnya dari limbah tambang atau run-off yang mengandung logam berat atau bahan terlarut, yang bisa merusak biota laut, mempengaruhi kualitas perikanan dan kesehatan lingkungan laut di sekitarnya.


Berdasarkan laporan tersebut, dapat dipahami bahwa masyarakat Pulau Gag menghadapi berbagai bentuk kerugian, yaitu berupa hilang atau berkurangnya hasil tangkapan ikan (materiil), potensi kerusakan terumbu karang dan ekosistem laut serta vegetasi pantai dan hutan pesisir, pencemaran air laut, kehilangan warisan budaya, serta gangguan ekonomi alternatif seperti pariwisata. Kerugian tersebut juga termasuk hilangnya ekosistem awal yang semula dapat dinikmati sebagai salah satu tempat yang memiliki keindahan alamnya, kini perlahan mulai berubah menjadi tempat yang penuh dengan polutan hasil pertambangan nikel (immateriil).


Dalam membangun sebuah argumentasi gugatan class action yang kuat, masyarakat perlu mengumpulkan data kuantitatif (volume tangkapan ikan sebelum/sesudah tambang, ukuran kerusakan terumbu, kualitas air laut, luas vegetasi yang hilang, pendapatan yang hilang dari wisata) dan data kualitatif (kesaksian masyarakat, dampak budaya, perubahan pola hidup), serta disusun dengan rangkaian argumentasi yang logis dan berbasis kepada dasar hukum positif yang berlaku di Indonesia. Data ilmiah dan laporan independen atau peer-reviewed akan sangat membantu membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara aktivitas tambang dan kerugian yang dialami oleh masyarakat pulau gag tersebut.


KESIMPULAN

Kasus pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, menunjukkan dominasi kepentingan ekonomi atas perlindungan lingkungan dan hak-hak masyarakat adat. Kerusakan ekologis berupa deforestasi mangrove, sedimentasi, dan degradasi terumbu karang merupakan pelanggaran nyata terhadap Pasal 28H ayat (1) UUD NKRI 1945 yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 65 dan Pasal 66 UU PPLH yang memberikan perlindungan bagi masyarakat serta melarang kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup. Selain itu, pelaksanaan pertambangan di pulau kecil tanpa memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan bertentangan dengan Pasal 2 huruf n serta Pasal 17 UU Minerba. Fakta bahwa masyarakat adat kehilangan akses atas sumber daya alam tradisional mempertegas adanya pelanggaran terhadap prinsip keadilan ekologis.  Lemahnya implementasi norma hukum dan pengawasan lingkungan telah mengakibatkan kerugian ekologis permanen yang menimbulkan ketidakadilan sosial bagi masyarakat adat Pulau Gag.


Aktivitas pertambangan PT Gag Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, telah menyebabkan degradasi ekologis signifikan, seperti kerusakan hutan, sedimentasi, dan kerusakan ekosistem terumbu karang yang menjadi sumber mata pencaharian masyarakat lokal. Kondisi ini mengancam keberlanjutan keanekaragaman hayati Raja Ampat serta memengaruhi aspek sosial-ekonomi penduduk setempat. Secara hukum, kegiatan tersebut berpotensi melanggar ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba, serta Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023. Meskipun PT Gag Nikel memiliki dasar kontrak karya, secara substansial operasional pertambangan di pulau kecil bertentangan dengan prinsip perlindungan lingkungan dan keadilan antar generasi.


Sengketa pertambangan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, mencerminkan jurang antara das Sein, yakni praktik pertambangan yang merusak lingkungan, mengorbankan hak masyarakat adat, dan dikendalikan kepentingan ekonomi-politik, dengan das Sollen, yaitu norma hukum yang semestinya menjaga kelestarian ekologis serta keadilan sosial. Kontrak karya yang diwariskan dari rezim sebelumnya memang memberikan legitimasi formal, tetapi dalam praktiknya bertentangan dengan regulasi mutakhir seperti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, serta Pasal 65 dan 66 UU PPLH.


Kesenjangan ini memperlihatkan lemahnya implementasi hukum dan bias struktural yang lebih mengutamakan profitabilitas dibandingkan keberlanjutan lingkungan. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa harus diarahkan pada upaya yang menekankan keadilan ekologis, perlindungan hak masyarakat adat, serta konsistensi penerapan hukum melalui jalur litigasi, advokasi, maupun penguatan instrumen seperti Anti-SLAPP dan Class Action. Dengan pendekatan ini , hukum dapat berperan substantif sebagai instrumen korektif yang menyeimbangkan kepentingan ekonomi, kelestarian ekosistem, dan hak konstitusional masyarakat adat di wilayah pulau kecil yang rentan.


Pertautan antara instrumen Anti-SLAPP dan Class Action sebagai strategi perlindungan hak masyarakat adat merupakan kunci penting dalam menghadapi praktik kriminalisasi sekaligus menuntut keadilan atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan aktivitas pertambangan nikel. Konsep Anti-SLAPP yang berlandaskan Pasal 66 UUPPLH dan diperkuat oleh putusan MK serta regulasi turunannya, hadir untuk memberi perlindungan hukum berupa imunitas bagi masyarakat adat, aktivis, maupun organisasi lingkungan agar tidak dapat dituntut secara pidana maupun perdata ketika memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.


Di sisi lain, mekanisme Class Action memberi ruang bagi masyarakat adat dan komunitas terdampak untuk menggugat secara kolektif, baik dalam bentuk ganti rugi materiil dan immateriil maupun tuntutan pemulihan ekologis yang diatur dalam Pasal 91 UUPPLH dan Perma No. 1 Tahun 2002. Dengan demikian, pertautan kedua instrumen ini tidak hanya berfungsi sebagai benteng perlindungan dari praktik intimidasi atau gugatan balik, tetapi juga sebagai sarana efektif memperkuat posisi tawar masyarakat adat dalam memperjuangkan hak konstitusional, kedaulatan atas ruang hidup, serta kelestarian lingkungan yang menjadi sumber utama penghidupan dan identitas budaya mereka.


REFERENSI

Jurnal Ilmiah

Adelina, et al, Indonesian Mining Regulations Shift as A Potential Sector in Developing the Economy, Jurnal Ilmiah Universitas Trunojoyo. Vol. 16, No.2, (2023),hlm 419-434.

Adnan Hasanudin, dkk. 2024. Analisis Dampak Strategic Lawsuit Against Public Participation(SLAPP) Terhadap Perlindungan Lingkungan di Indonesia. Konsensus: Jurnal Ilmu Pertahanan, Hukum dan Ilmu Komunikasi, 1(4), 94-103.

Dewi Lestari, dkk. 2025. Konflik Penambangan Nikel di Raja Ampat: Analisis Dampak Lingkungan dan Etika. Jurnal Ilmu Data dan Governance untuk Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 4(2), 112–130. 

M. H. Prasetyo. 2025. Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Eksploitasi Sumber Daya Alam di Indonesia. Jurnal Hidroponik, 2(2), 1–12. 

S. Sari Cimi. 2023. Penegakan Hak-Hak Ekologis Masyarakat Setempat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Jurnal Studi Lingkungan, 6(1), 45–61. 

“Ketika Konservasi Tak Cukup: Analisis Dampak Dan Penanganan Ekosistem di Pulau GAG, Raja Ampat” BEM FE UGM, 19 Juni 2025, tersedia pada “Ketika Konservasi Tak Cukup: Analisis Dampak Dan Penanganan Ekosistem di Pulau GAG, Raja Ampat” – BEM FGE UGM, diakses pada 22 September 2025.


Artikel Online

Geotimes. 2025. “Raja Ampat: Manajemen Konflik Konservasi Vs. Tambang Nikel” (online). Diakses 21 September 2025, dari https://geotimes.id/opini/raja-ampat- manajemen-konflik-konservasi-vs-tambang-nikel/ 

JATAM. 2025. “Pencabutan IPPKH PT Gema Kreasi Perdana (GKP): Kemenangan Rakyat Pulau Kecil Wawonii” (online). Diakses 21 September 2025, dari https://jatam.org/id/lengkap.php?slug=Pencabutan-IPPKH-PT-Gema-Kreasi-Perdana 

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. 2025. “Pemerintah Cabut Empat Izin Perusahaan Tambang di Raja Ampat” (online). Diakses 20 September 2025, dari https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/pemerintah-cabut-em pat-izin-perusahaan-tambang-di-raja-ampat.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2025. “Aktivitas Tambang Ancam Ekosistem Raja Ampat, KLH/BPLH Turun Tangan” (online). Diakses 20 September 2025, dari https://kemenlh.go.id/news/detail/aktivitas-tambang-ancam-ekosistem-raja-ampat-klhbplh-turun-tangan

Kompas. 2025. “Beroperasinya Kembali Tambang Pulau Gag dan Ancaman Konflik Horizontal” (online). Diakses 20 September 2025, dari https://www.kompas.id/ artikel/kabar-kembali-beroperasinya-tambang-pulau-gag-dan-ancaman-konflik-horizontal-berkepanjangan 

Kompas. 2025. “Tambang Nikel di Raja Ampat Timbulkan Kontroversi, Apa yang Sebenarnya Terjadi?” (online). Diakses 20 September 2025, dari https://www. kompas.id/artikel/tambang-nikel-di-raja-ampat-timbulkan-kontroversi-apa-yang-sebenarnya-terjadi

Munawaroh, Nafiatul, "Gugatan Kelompok atau Class Action: Syarat dan Prosedurnya", Hukum Online, 24 Agustus 2022, tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/gugatan-kelompok-atau-iclass-action-i--syarat-dan-prosedurnya-cl2436/, diakses ada tanggal 22 September 2025.

Tempo. 2025. “3 Alasan Pemerintah Cabut 4 Izin Tambang Nikel di Raja Ampat” (online). Diakses 20 September 2025, dari https://www.tempo.co/politik/3- alasan-pemerintah-cabut-4-izin-tambang-nikel-di-raja-ampat-1674358

Tempo. 2025. “Mengapa Pemerintah Tak Cabut Izin PT Gag Nikel di Raja Ampat” (online). Diakses 20 September 2025, dari https://www.tempo.co/politik/ mengapa-pemerintah-tak-cabut-izin-pt-gag-nikel-di-raja-ampat--1673941 

Kementerian Lingkungan Hidup/BPLH. 2025. “Aktivitas Tambang Ancam Ekosistem Raja Ampat, KLH/BPLH Turun Tangan.” Kementerian Lingkungan Hidup. Diakses 21 September 2025. https://kemenlh.go.id/news/detail/aktivitas-tambang-ancam-ekosistem-raja-ampat-klhbplh-turun-tangan/.

Kompas. 2025. “Tambang Raja Ampat: Dugaan Pelanggaran Hukum Lingkungan dan Hak Masyarakat Adat.” Kompas. Diakses 21 September 2025. https://money.kompas.com/read/2025/06/14/154958226/tambang-raja-ampat-dugaan-pelanggaran-hukum-lingkungan-dan-hak-masyarakat-adat?page=all/.

ANTARA News. 2025. “KLH Temukan Pelanggaran Aturan Lingkungan di Tambang Nikel Raja Ampat.” ANTARA News. Diakses 21 September 2025. https://www.antaranews.com/berita/4882185/klh-temukan-pelanggaran-aturan-lingkungan-di-tambang-nikel-raja-ampat/.

HukumOnline. 2025. “UU Larang Tambang di Pulau Kecil, Ini Alasan Tambang di Pulau Gag Raja Ampat Masih Beroperasi.” HukumOnline. Diakses 21 September 2025. https://www.hukumonline.com/berita/a/uu-larang-tambang-di-pulau-kecil--ini-alasan-tambang-di-pulau-gag-raja-ampat-masih-beroperasi-lt6846db42bd162/.

Alchemist Law Office. 2025. “Saat Hukum dan Etika Gagal Melindungi Raja Ampat dari Tambang Nikel.” Alchemist Group. Diakses 21 September 2025. https://alchemistgroup.co/saat-hukum-dan-etika-gagal-melindungi-raja-ampat-dari-tambang-nikel/.

Geotimes. 2025. “Raja Ampat: Manajemen Konflik Konservasi Vs. Tambang Nikel.” Geotimes. Diakses 21 September 2025. https://geotimes.id/opini/raja-ampat-manajemen-konflik-konservasi-vs-tambang-nikel/.

Tempo. 2025. “Tambang Nikel Raja Ampat Memicu Konflik Suku Kawe.” Tempo.co. Diakses 21 September 2025. https://www.tempo.co/lingkungan/konflik-sosial-tambang-nikel-suku-kawe-1745431/.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). 2025. “Pemuda Adat Tolak Ekspansi Pertambangan Nikel di Raja Ampat.” AMAN. Diakses 21 September 2025. https://aman.or.id/news/read/2105/.

Mongabay Indonesia. 2025. “Cabut 4 Izin Tambang Nikel Raja Ampat dan Ancaman Hukum, Bagaimana Pulau Lain?” Mongabay Indonesia. Diakses 21 September 2025. https://mongabay.co.id/2025/06/11/cabut-4-izin-tambang-nikel-raja-ampat-dan-ancaman-hukum-bagaimana-pulau-lain/.

Tempo.co. 2025. “Dampak Tambang Nikel Raja Ampat: Sedimentasi Hingga Deforestasi.” Tempo.co. Diakses 21 September 2025. https://www.tempo.co/lingkungan/dampak-tambang-nikel-raja-ampat-sedimentasi-hingga-deforestasi--1673379.

Green Network Indonesia. 2025. “Tambang Nikel Raja Ampat dan Dampak Eksploitasi Sumber Daya Alam.” Green Network. Diakses 21 September 2025. https://greennetwork.id/gna-knowledge-hub/tambang-nikel-raja-ampat-dan-dampak-eksploitasi-sumber-daya-alam/.

Enviro News. 2025. “KLH Dalami Kerusakan Lingkungan di Raja Ampat.” Enviro News. Diakses 21 September 2025. https://www.enviro.or.id/2025/06/tambang-nikel-raja-ampat-di-pulau-kecil-kerusakannya-bisa-lebih-besar/.

Mongabay Indonesia. 2025. “PT Gag Nikel Operasi Lagi, Tanda Bahaya bagi Raja Ampat.” Mongabay Indonesia. Diakses 21 September 2025. https://mongabay.co.id/2025/09/16/pt-gag-nikel-operasi-lagi-tanda-bahaya-bagi-raja-ampat/.

Walhi. 2025. “Pencabutan 4 Izin Usaha Pertambangan di Raja Ampat adalah Tindakan yang Terlambat dan Setengah Hati.” Walhi. Diakses 21 September 2025. https://www.walhi.or.id/pencabutan-4-izin-usaha-pertambangan-iup-di-raja-ampat-adalah-tindakan-yang-terlambat-dan-setengah-hati.


Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 119/PUU-XXIII/2025