 
                                      Sumber: TribunJabar.com
Saat Kongres AS Buntu: Kekacauan Dolar Bikin IHSG Bernapas Lega, Mungkinkah Pasar RI Jadi 'Pelabuhan Aman' Global?"
Jakarta, Kunci Hukum - Dunia internasional lagi-lagi diganggu oleh drama politik, dan kali ini datang dari Amerika Serikat. Pemerintah negeri adidaya itu resmi memasuki fase government shutdown per 1 Oktober 2025, setelah Kongres gagal mencapai kata sepakat dalam pengesahan Rancangan Undang-Undang pendanaan federal. Akibatnya, sejumlah layanan pemerintah langsung mandek. Tapi menariknya, alih-alih ikut terguncang, Indonesia justru menunjukkan ketenangan yang jarang terlihat dalam situasi seperti ini. Pasar keuangan dalam negeri malah cenderung stabil, bahkan sedikit menguat.
Shutdown semacam ini memang bukan barang baru dalam sejarah politik AS. Bedanya, kali ini terasa lebih panas. Perseteruan antara Partai Republik dan Demokrat makin keras dan kompromi sementara pun tampaknya sudah tidak mempan. Detik.com (01/10/2025) mencatat bahwa sumber masalahnya berkisar pada pendanaan program kesehatan. Demokrat bersikeras mempertahankan subsidi premi dalam Affordable Care Act, sementara Republik tetap ingin memangkasnya, termasuk memangkas dana untuk sejumlah lembaga kesehatan federal.
Negosiasi dilakukan, tapi tetap mentok di ujung tenggat. Kantor Manajemen dan Anggaran (OMB) akhirnya mengeluarkan instruksi untuk menghentikan layanan pemerintah yang dianggap tidak esensial. Ini pun menjadi shutdown pertama sejak 2018. Sampai sekarang belum jelas kapan akan berakhir, karena tidak ada tanda-tanda kedua partai bersedia mundur dari posisinya.
Dampaknya di dalam negeri AS terasa cukup besar. Sekitar 750.000 pegawai federal harus berhenti bekerja sementara atau cuti tanpa gaji. Layanan penting seperti jaminan sosial, Medicare, dan pengawasan penerbangan memang tetap beroperasi. Tapi fasilitas publik seperti Taman Nasional dan museum langsung tutup. Di sisi lain, ada efek lain yang sering luput dari perhatian: terganggunya rilis data ekonomi penting.
CNBC Indonesia (03/10/2025) menyebut bahwa laporan pekerjaan bulanan AS kemungkinan tertunda. Ini masalah, karena data semacam itu biasanya jadi pegangan utama The Federal Reserve untuk menentukan arah suku bunga. Tanpa data akurat, kebijakan moneter mereka bisa tertahan, dan pasar global pun ikut bingung.
Tapi anehnya, di saat banyak negara memilih menahan diri, Indonesia justru terlihat positif. Berdasarkan catatan CNBC Indonesia (01/10/2025), pada shutdown sebelumnya, Indeks Dolar AS (DXY) cenderung melemah. Investor biasanya menarik dananya dari aset berbasis dolar, lalu mengalihkannya ke aset yang dianggap lebih aman, mulai dari emas sampai pasar negara berkembang.
Pada shutdown terpanjang beberapa tahun lalu, Rupiah bahkan sempat menguat terhadap dolar. IHSG ikut terdongkrak. Ini bukan berarti Indonesia tiba-tiba jadi lebih kuat, melainkan karena investor global sedang jenuh dengan risiko politik AS dan butuh tempat alternatif. Indonesia, dengan stabilitas politik yang relatif terjaga dan ekonomi yang tidak terlalu bergejolak, jadi salah satu pelabuhan sementara yang cukup masuk akal.
Dalam wawancara Kompas.com (01/10/2025), ekonom Bhima Yudhistira juga mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu panik. Shutdown seperti ini sifatnya sementara, dan lebih banyak berdampak secara simbolik ketimbang ekonomi riil. Justru kenyataan bahwa pasar Indonesia tetap tenang jadi bukti bahwa pondasi ekonomi dalam negeri cukup kuat.
Pemerintah Indonesia pun terlihat percaya diri. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan bahwa shutdown AS tidak akan mengganggu nilai tukar Rupiah. Saat berbicara kepada detikFinance (03/10/2025), ia mengatakan bahwa konflik politik di Washington tidak langsung mempengaruhi aktivitas pasar global. Selama mekanisme perdagangan jalan terus, pelaku pasar tidak akan panik.
Walau begitu, para ekonom tetap menyarankan masyarakat untuk waspada secara pribadi. Kompas.com menyarankan langkah sederhana seperti menjaga dana darurat dalam bentuk tunai, tidak terlalu bergantung pada barang impor, dan menunda pembelian yang sifatnya tidak mendesak. Bukan karena kondisi sedang genting, tapi sekadar berjaga agar rumah tangga tetap aman kalau tiba-tiba ada gejolak harga.
Sekarang penentuan ada di tangan Kongres AS. Selama Republik dan Demokrat belum menemukan titik temu, ketidakpastian tetap menggantung. Tapi menariknya, justru di tengah kekacauan politik global seperti ini, Indonesia muncul sebagai titik terang. Bukan karena kondisi kita sempurna, tapi karena saat negara adidaya sibuk bertengkar, pasar lain yang lebih tenang jadi kelihatan lebih menarik.
Penulis : Tasya Khoerunnisa Himawan
Editor : I Gusti Ayu Agung Erlina Putri Astana
Baca Artikel Menarik Lainnya!
 
                
                    Resuffle Kabinet: Erick Thohir dan Mission Impossi...
19 September 2025
Waktu Baca: 3 menit
Baca Selengkapnya → 
                
                    Tuntut Perubahan, Ribuan Driver Ojol Akan Demo di...
20 July 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →