Setelah dua tahun agresi militer yang menewaskan lebih dari 67.000 warga Palestina, sebuah harapan akhirnya menyingsing di Jalur Gaza. Sebuah negosiasi perdamaian antara Israel dan Palestina kini memasuki babak krusial setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengusulkan rencana gencatan senjata komprehensif untuk mengakhiri konflik di Jalur Gaza. 


Pembicaraan tidak langsung yang dimulai pada Senin (6/10) malam di Mesir melibatkan mediasi dari Amerika Serikat, Qatar, Mesir, dan Turki dengan fokus pada implementasi gencatan senjata serta mekanisme transisi kekuasaan dari Hamas kepada entitas pemerintahan yang lebih moderat.


Seorang pejabat yang akrab dengan jalannya pembicaraan menyatakan bahwa diskusi ini diharapkan berlangsung beberapa hari agar dapat menekankan urgensi untuk menghentikan kekerasan yang telah merenggut nyawa ribuan warga sipil. 


Sementara itu, Trump, dalam wawancara dengan CNN memprediksi negosiasi hanya akan memakan waktu dua atau tiga hari dan memperingatkan Hamas. "Hamas akan menghadapi kehancuran total jika menolak untuk menyerahkan kekuasaan di Gaza," ucapnya.


Dua hari kemudian (8/10), Trump mengungkapkan optimisme tinggi terhadap kesepakatan damai yang sangat dekat sambil menyatakan rencana kunjungannya ke Timur Tengah akhir pekan itu. Berbicara kepada wartawan di Gedung Putih, Trump mengatakan, "Saya mungkin akan pergi ke sana menjelang akhir minggu ini, mungkin tepatnya hari Minggu. Negosiasi berjalan sangat baik," seperti dikutip oleh AFP.


Ia menambahkan bahwa timnya, termasuk utusan khusus Steve Witkoff dan menantunya Jared Kushner telah bergabung dalam diskusi di Mesir dengan proposal perdamaian 20 poin Trump sebagai dasar utama. Proposal tersebut mencakup gencatan senjata permanen, pembebasan semua sandera yang ditahan di Gaza, pelucutan senjata Hamas, dan penarikan bertahap pasukan Israel. 


Pihak mediator Qatar, melalui juru bicara Kementerian Luar Negeri Majed al-Ansari, mengonfirmasi bahwa kesepakatan telah dicapai untuk semua ketentuan dan mekanisme implementasi fase pertama, meski rincian lebih lanjut akan diumumkan kemudian.


Tekanan internasional juga mengemuka dengan Rusia mendukung rencana AS. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menegaskan, "Kami mendukung rencana pemerintah AS untuk Gaza yang mencakup gencatan senjata, pembebasan tahanan, dan pemulihan penuh akses kemanusiaan," dikutip dari Aljazeera. 


Rusia juga mengkritik pihak Barat yang menghalangi rancangan resolusi PBB sebelumnya untuk gencatan senjata dan bantuan kemanusiaan. Di Eropa, Italia melalui Menteri Luar Negeri, menyatakan kesiapannya untuk berkontribusi. "Italia yang selalu mendukung rencana AS, siap mengambil bagian untuk mengkonsolidasi gencatan senjata, mengirimkan bantuan kemanusiaan, dan berpartisipasi dalam rekonstruksi Gaza. Kami juga siap mengirim pasukan jika pasukan perdamaian internasional sudah terbentuk," tulis Tajani di media sosial X. 


Adapun pernyataan ini datang setelah Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi memuji dukungan Trump menyebut adanya tanda-tanda yang menggembirakan dalam perundingan. Israel pun menyebut hari itu sebagai hari yang baik, sementara Hamas meminta komunitas internasional mendesak Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk mematuhi kesepakatan.


Euforia pun melanda warga Gaza ketika kabar gencatan senjata tersebar. Sekelompok wartawan yang bertahan di Gaza turun ke jalan dengan mengenakan rompi bertuliskan "PRESS" lalu berkeliling ke desa-desa yang terputus listrik dan internet untuk menyebarkan kabar gembira. 


"Kami memberi tahu orang-orang yang tidak memiliki internet bahwa gencatan senjata telah tercapai!" seru salah satu wartawan dengan suara penuh haru seperti dikutip dari Middle East Eye. Suasana haru dan suka cita menyelimuti wilayah yang selama dua tahun dilanda kehancuran total akibat agresi brutal Israel.


Namun harapan akan perdamaian segera ternoda oleh realitas di lapangan. Melansir CNN, sedikitnya 30 warga Palestina tewas dalam serangan udara Israel sejak kesepakatan diumumkan pada Rabu malam. Salah satu serangan terparah menimpa rumah keluarga Ghaboun di lingkungan Al-Sabra, Gaza Utara, menewaskan enam orang dan menjebak lebih dari 40 warga di bawah reruntuhan. 


"Dari serangan itu setidaknya enam orang tewas," kata Dr. Mohammed Abu Salmiya, Direktur Rumah Sakit Al-Shifa. Angkatan Pertahanan Israel (IDF) mengklaim menargetkan sel teroris Hamas yang mengancam pasukan kami, tetapi warga Gaza melaporkan ledakan dan kolom asap hanya beberapa jam setelah berita gencatan. 


Juru bicara pemerintah Israel Shosh Bedrosian menyatakan bahwa gencatan akan dimulai dalam 24 jam setelah pertemuan kabinet keamanan. Hal ini tentu menambah ketegangan di lapangan di mana bencana kelaparan akut semakin parah. 


Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menekankan bahwa gencatan senjata saja tidak cukup untuk mencapai kemajuan nyata. Melansir AFP, Guterres menyatakan, "Untuk mengubah gencatan senjata ini menjadi kemajuan nyata, kita membutuhkan lebih dari sekadar peredaman senjata." 


Ia menyerukan akses penuh bagi pekerja kemanusiaan, penghapusan hambatan birokrasi dan pembangunan kembali infrastruktur yang hancur. PBB telah mempersiapkan 170.000 ton bantuan kemanusiaan dan minimal 400 truk akan masuk ke Gaza setiap hari selama lima hari pertama gencatan senjata, dengan peningkatan pada hari-hari berikutnya.


Sementara itu, Otoritas Palestina (PA) menyatakan kesiapannya mengambil peran utama dalam tata kelola Gaza pascaperang. Perdana Menteri Palestina Mohammad Mustafa menegaskan, melansir Reuters, "Kami sudah berada di sana. Berbeda halnya antara pengawasan internasional sementara dengan benar-benar memerintah dan menyelesaikan persoalan di lapangan." 


PA telah menominasikan sekitar 5.500 personel untuk dilatih sebagai pasukan kepolisian baru dengan target mencapai 10.000 personel berkat dukungan Mesir. Bank Dunia memperkirakan biaya rekonstruksi Gaza mencapai US$80 miliar, empat kali lipat dari gabungan produk domestik bruto Tepi Barat dan Gaza pada 2022 atau setara Rp 1.326 trilliun. Namun, Israel menolak keterlibatan PA karena tuduhan korupsi dan hasutan, sementara Hamas memberi sinyal positif untuk transisi kekuasaan.


Kemudian, rencana kunjungan Trump ke Yerusalem pada 12 Oktober untuk mengonsolidasikan kesepakatan “Perdamaian untuk Timur Tengah” semakin memperkuat momentum diplomatik. Kantor Presiden Israel Isaac Herzog membatalkan agenda untuk menyambut Trump, diikuti panggilan telepon emosional dengan Netanyahu. Dimana Netanyahu mengucapkan terima kasih atas upaya kepemimpinan globalnya, seperti yang dikonfirmasi oleh Bedrosian kepada AFP. 


Meskipun demikian, analis memperingatkan bahwa koordinasi dengan negara Arab seperti Mesir dan Qatar akan krusial untuk pemerintahan transisi dengan PA berharap reformasi internalnya dapat mengubah penolakan Israel. Kesepakatan ini, yang mengakhiri dua tahun konflik brutal menjanjikan perdamaian, tetapi pelanggaran awal dan isu rekonstruksi menuntut komitmen global yang tegas.


Penulis: Rofi Nurrohmah

Editor: Kayla Stefani Magdalena Tobing