Jakarta, Kunci Hukum - Polemik mengenai anggaran anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali mencuat. Kali ini kenaikan dan reses anggota DPR RI menjadi Rp 702 juta per anggota pada periode 2024 - 2029 yang menjadi sorotan, hampir dua kali lipat dari periode sebelumnya yang bernilai Rp 400 juta. Kenaikan ini ditegaskan oleh pimpinan DPR sebagai penyesuaian kebutuhan di lapangan, bukan tunjangan.


“Reses itu kan uangnya bukan buat anggota dewan, tapi untuk kegiatan reses di dapil dengan berbagai kegiatan serap aspirasi masyarakat” ujar Sufmi Dasco Ahmad (11/10/2025), Wakil Ketua Dewan DPR RI


Menurutnya, usulan dana sudah menyesuaikan, sudah diusulkan pada Januari 2025 oleh Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI dan disetujui oleh Kementerian Keuangan Pada Mei 2025. Ia menambahkan, dana reses diberikan hanya empat sampai lima kali dalam setahun, sesuai dengan jadwal kegiatan reses bukan setiap bulan.


Meski begitu sempat beredar kabar adanya kenaikan tambahan sebesar Rp 54 juta hingga total Rp 756 juta per anggota. Namun, Dasco menegaskan bahwa dana tersebut sudah ditarik kembali karena kesalahan administrasi Setjen DPR.


“Dia pikir Rp 54 juta ini sudah disetujui, tapi ternyata belum. Dana itu sudah ditarik kembali, tetap 702 juta” jelasnya.


Di tengah kontroversi tersebut, Dasco mengungumkan bahwa DPR sedang menyiapkan aplikasi digital pelaporan kegiatan reses. Melalui aplikasi ini publik bisa memantau aktivitas para wakil rakyat, termasuk titik dan jenis kegiatan yang mereka lakukan selama masa reses.


“Kami sudah bikin aplikasi, nantinya publik bisa klik nama anggota DPR, partai asal, serta kegiatan dan lokasi resesnya.” Kata Dasco


Sebanyak 580 anggota DPR diwajibkan mengunggah laporan kegiatan ke aplikasi tersebut. Jika laporan tidak lengkap atau tidak sesuai Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) akan menindaklanjutinya. Meski begitu, Dasco menjelaskan bahwa laporan tidak mencantumkan bukti pengeluaran secara rinci karena biaya di setiap daerah pemilihan berbeda-beda.


Namun wacana transparansi ini dinilai masih belum meyakinkan publik. Lucius Karus, peneliti dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), menyebut dana reses sebagai ‘informasi hantu’ karena jarang dibuka secara jujur kepada masyarakat.


“Kita seperti kena prank massal dari DPR. Setelah publik puas dengan penghapusan tunjangan perumahan Rp 50 juta perbulan, ternyata muncul kenaikan dana reses yang lebih besar” ujar Lucius, pada Minggu (12/10/2025).


Lucius menilai tanpa laporan pertanggungjawaban yang jelas, penggunaan dana reses sangat rentan disalahgunakan. Ia bahkan menuding sebagian anggota dewan tidak benar-benar turun ke daerah pemilihan.


“Bukan tidak mungkin ada anggota DPR yang justru pelesiran saat masa reses. Dana besar tanpa pengawasan ini bisa menjadi celah penyimpangan” ungkapnya


Secara hukum mekanisme reses diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) serta peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib. Dalam aturan itu disebutkan bahwa anggota DPR berhak atas dukungan keuangan untuk pelaksanaan reses. Namun, tanpa sistem pelaporan yang transparan, publik berpotensi memandang dana tersebut sebagai privilege politik, bukan sebagai sarana untuk menyerap aspirasi rakyat.


Kini, janji DPR untuk meluncurkan aplikasi transparansi bagi ujian nyata bagi komitmen keterbukaan lembaga legislatif di Tanah Air. Masyarakat menanti apakah langkah digitalisasi ini mampu menjawab kecurigaan publik atau sekadar menjadi formalitas baru di tengah sorotan tajam terhadap penggunaan anggaran rakyat.


Penulis: Sarah Novianti

Editor: Kayla Stefani Magdalena Tobing