 
                                      Sumber: www.pajak.go.id
Memahami Pembagian Waris Menurut Hukum Islam
Saat ini, sistem hukum yang berlaku di Indonesia bersumber dari sistem hukum adat, hukum islam, dan hukum barat. Variasi sumber hukum tersebut kemudian memengaruhi pengaturan pembagian waris. Dari ketiga sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia tersebut, pembahasan ini akan berfokus pada Hukum Waris Islam, yang dalam terminologi fikih dikenal pula dengan istilah Faraid atau Mawaris.
Sumber Hukum Waris Islam
Sistem hukum waris Islam memiliki karakteristik fundamental yang membedakannya secara signifikan dari hukum Adat maupun hukum Barat (Perdata). Apabila hukum Adat bersumber dari nilai-nilai komunal serta kebiasaan setempat, dan hukum Perdata bersumber dari kodifikasi (seperti Burgerlijk Wetboek), maka Hukum Waris Islam mutlak bersumber dari wahyu (Syariah).
Pada hakikatnya, sumber hukum yang mengatur kewarisan dalam Islam tidak terlepas dari sumber hukum Islam secara keseluruhan. Dengan merujuk pada Al-Qur'an sebagai landasan utama, hierarki sumber hukum kewarisan Islam dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Al-Qur'an, Hadis Rasulullah, dan Ijtihad ulil amri.
Asas Hukum Waris Islam
1) Asas Ijbari (Memaksa)
Prinsip ini menjelaskan bahwa peralihan harta warisan bersifat wajib dan terjadi secara otomatis demi hukum. Harta peninggalan harus dialihkan kepada ahli waris yang sah dan proses pengalihan ini tidak dapat ditolak atau dibatalkan.
2) Asas Bilateral
Prinsip ini mengakui hak waris dari dua sisi kekerabatan. Artinya, seseorang dapat menerima warisan baik dari garis keturunan pihak ayah (laki-laki) maupun dari garis keturunan pihak ibu (wanita).
3) Asas Individual
Prinsip ini menegaskan bahwa kepemilikan harta warisan bersifat perorangan. Setelah harta warisan dibagi, setiap ahli waris akan memiliki hak milik pribadi (individual) atas bagiannya masing-masing, bukan dimiliki secara bersama atau kolektif.
4) Asas Keadilan Berimbang
Prinsip ini menekankan adanya keseimbangan antara hak yang didapat dengan kewajiban yang menyertainya. Bagian warisan yang diterima oleh seorang ahli waris harus sepadan dengan tanggung jawab yang harus ia tunaikan terkait harta tersebut.
5) Asas Kematian
Prinsip ini menetapkan bahwa kematian adalah syarat utama terjadinya pewarisan. Harta milik seseorang baru dapat beralih secara sah kepada para ahli warisnya setelah orang tersebut dipastikan telah meninggal dunia.
Pembagian Ahli Waris Berdasarkan Bagian-Bagian yang Diterima
1) Dzawil Furudh, yaitu ahli waris yang memperoleh bagian-bagian tertentu yang besar kecilnya telah ditentukan di dalam Al-Quran (QS. Al-Nisa : 11,12,176). Mereka adalah :
a. Anak Perempuan memperoleh:
-½ bagian apabila sendirian (tidak ada anak dan cucu lain)
-⅔ bagian apabila terdapat dua atau lebih anak perempuan dan tidak ada anak atau cucu laki-laki
b. Cucu Perempuan dari Anak laki-laki (Cucu perempuan tersebut menggantikan anak laki-laki pewaris) memperoleh:
-½ bagian jika ia sendirian dan tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan yang hidup
-⅔ bagian jika bersama cucu perempuan lainnya, tetapi tidak ada anak laki-laki atau anak perempuan yang hidup
-⅙ bagian jika ada satu anak perempuan dan tidak ada anak laki-laki atau cucu laki-laki lainnya
-Bagian sesuai proporsi 2:1 dengan cucu laki-laki jika mereka sama-sama menjadi ahli waris pengganti, di mana cucu laki-laki mendapat bagian dua kali lipat dari cucu perempuan
c. Ibu memperoleh:
-⅓ bagian jika tidak ada anak/cucu dan tidak ada dua saudara atau lebih dan tidak bersama Ayah kandung
-⅙ bagian jika terdapat anak/cucu dan tidak ada dua saudara atau lebih dan tidak bersama Ayah kandung
-⅓ bagian dari sisa sesudah diambil istri/janda atau suami/duda bila tidak ada anak/cucu dan tidak ada dua saudara atau lebih tetapi bersama Ayah kandung
d. Ayah memperoleh:
-⅓ bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak
-⅙ bagian jika pewaris memiliki anak (laki-laki atau perempuan)
e. Nenek memperoleh:
-⅙ bagian ada maupun tidak ada ahli waris selain Ayah Ibu
f. Kakek memperoleh:
-⅙ bagian bila ada anak laki-laki atau cucu laki-laki
-⅙ dan sisa bagian jika ada anak perempuan atau cucu perempuan, dan tidak ada fa’ru waris laki-laki atau tidak ada Ayah
g. Saudara perempuan sekandung memperoleh:
-½ bagian jika tidak ada anak atau Ayah
-⅔ bagian jika terdapat dua orang atau lebih dan tidak ada anak atau Ayah
h. Saudara perempuan seayah memperoleh:
-½ bagian jika sendirian dan tidak ada anak, ayah atau saudara perempuan sekandung
-⅔ bagian jika terdapat dua orang atau lebih dan tidak ada anak, ayah atau saudara perempuan sekandung
-⅙ jika tidak anak, cucu laki-laki, saudara laki-laki sekandung/seayah tapi bersama dengan saudara perempuan sekandung
i. Saudara Perempuan dan Laki-Laki Seibu memperoleh:
-⅙ bagian jika sendirian serta tidak ada anak, cucu, dan ayah
-⅓ bagian jika terdapat dua orang atau lebih serta tidak ada ayah
j. Suami memperoleh:
-½ bagian jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki
-¼ bagian jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki
k. Istri memperoleh:
-¼ bagian jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki
-⅛ jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki
2) Dzawil Ashabah, yaitu ahli waris yang memperoleh bagian sisa setelah diambil dahulu oleh ahli waris kelompok dzawil furudh. Mereka adalah; anak laki-laki, cucu laki-laki (dari anak laki-laki), ayah, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki (dari saudara laki-laki sekandung), anak laki-laki (dari saudara laki-laki seayah), paman sekandung, paman seayah, anak laki-laki dari paman sekandung, dan anak laki-laki dari paman seayah.
Kelompok ahli waris dzawil 'ashabah menganut prinsip bahwa kerabat yang lebih dekat akan menghalangi kerabat yang lebih jauh. Dengan kata lain, jika dalam suatu pembagian warisan terdapat beberapa ahli waris 'ashabah dengan derajat kekerabatan yang berbeda-beda, maka hak untuk mengambil bagian sisa ('ashabah) tersebut hanya jatuh kepada ahli waris dengan relasi kekerabatan paling dekat. Akibatnya, ahli waris yang memiliki hubungan kekerabatan lebih jauh menjadi terhalang (hijab) dan kehilangan haknya atas bagian 'ashabah tersebut.
3) Dzawil Arham, yaitu individu-individu yang memiliki relasi darah (kekerabatan) dengan pewaris (al-muwarris), namun tidak berhak atas bagian warisan karena mereka tidak diklasifikasikan sebagai ahli waris. Kelompok ini adalah mereka yang tidak termasuk dalam kategori dzawil furudh (penerima bagian pasti) maupun dzawil 'ashabah (penerima sisa). Contohnya adalah kakek dari garis pihak ibu, cucu dari anak perempuan, dan bibi dari pihak ayah atau ibu.
Bagaimana Cara Penyelesaian Sengketa Waris Islam?
Langkah awal yang sangat dianjurkan dalam penyelesaian sengketa waris Islam adalah melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Prinsip ini sejalan dengan ajaran dalam Q.S. Ali Imran Ayat 159, yang menekankan pentingnya menyelesaikan urusan melalui diskusi. Proses musyawarah ini dapat dilakukan secara internal, yakni hanya melibatkan anggota keluarga, atau bisa juga dengan menunjuk pihak ketiga sebagai penengah (mediator), seperti misalnya meminta bantuan Ketua RT setempat. Namun, apabila upaya damai tersebut tidak menemukan titik temu atau kesepakatan di antara para ahli waris, maka sengketa waris tersebut dapat diajukan ke pengadilan. Bagi keluarga Muslim, lembaga hukum yang berwenang untuk menangani perkara ini adalah Pengadilan Agama.
Sistem hukum di Indonesia dipengaruhi oleh tiga sumber utama, yaitu hukum adat, hukum Islam, dan hukum Barat, yang masing-masing memiliki aturan tersendiri dalam pembagian waris. Pembahasan ini menyoroti hukum waris Islam atau Faraid, yang bersumber langsung dari wahyu Allah melalui Al-Qur’an, Hadis, dan Ijtihad. Hukum waris Islam berlandaskan asas-asas penting seperti kewajiban otomatis pewarisan (ijbari), hak waris dari kedua garis keturunan (bilateral), kepemilikan pribadi (individual), keadilan yang seimbang, serta kematian sebagai syarat pewarisan. Berdasarkan ketentuan syariat, ahli waris terbagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu dzawil furudh (penerima bagian pasti), dzawil ‘ashabah (penerima sisa), dan dzawil arham (kerabat jauh tanpa hak pasti). Dalam hal terjadi sengketa waris, Islam mengutamakan penyelesaian melalui musyawarah kekeluargaan, dan bila tidak tercapai kesepakatan, perkara dapat diajukan ke Pengadilan Agama.
Referensi
Buku
Al-Habsyi, H. M. Ali. Hukum Kewarisan Islam. Makassar: Alauddin University Press, 2013.
Jurnal
Amin, Muhammad. “Hukum Kewarisan Islam (Faroidh).” JURNAL AINUL HAQ 1. No. 1 (2018). Hlm. 81–91.
Trigiyatno, Ali. “Konsep Kewarisan Islam dan Relevansinya dengan Tuntutan Keadilan (Kajian Pemikiran Munawir Sjadzali).” Jurnal Walisongo 22. No. 1 (2014). Hlm. 1–28.
Website
Redaksi At-Taqwa. “Pembagian Warisan Dalam Islam Beserta Tabelnya.” AT-TAQWA CIREBON. 30 Juli 2024. Tersedia pada https://attaqwacirebon.com/pembagian-warisan-dalam-islam-berserta-tabelnya/. Diakses pada 26 Oktober 2025.
Baca Artikel Menarik Lainnya!
 
                
                    PeduliLindungi Berubah Jadi Situs Judi Online: Buk...
22 May 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya → 
                
                    Vonis Tom Lembong Tuai Respons: Para Ahli Hukum An...
20 July 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya → 
                
                    UU TNI Digugat: MK Sidangkan 11 Gugatan Uji Formil...
09 May 2025
Waktu Baca: 2 menit
Baca Selengkapnya →