Sumber: www.lamudi.co.id
Siapa Kepala dalam Rumah Adat? Menyelami Struktur Sosial dan Kepemimpinan Komunal dalam Hukum Adat Indonesia
Siapa yang sesungguhnya berhak memimpin dalam rumah adat? Mereka yang dituakan karena usia, yang dihormati karena keturunan, atau yang diakui karena kebijaksanaan? Hukum adat Indonesia mengenal konsep kepemimpinan yang tidak hanya berbasis otoritas formal, melainkan juga legitimasi moral dan spiritual. Dalam struktur sosial komunal, kepala adat bukan sekadar jabatan administratif, tetapi simbol keseimbangan antara manusia, alam, dan leluhur.
Namun, modernisasi dan intervensi negara sering menggeser makna itu menjadi posisi birokratis yang tunduk pada sistem pemerintahan desa. Ketegangan antara kepemimpinan adat yang lahir dari musyawarah dan kepemimpinan administratif yang bersumber dari peraturan negara mencerminkan benturan paradigma antara living law dan state law. Pertanyaannya: dalam rumah adat yang kini berdiri di tengah negara modern, siapa sebenarnya yang berdaulat? pemimpin yang diangkat oleh rakyat adat, atau pejabat yang ditunjuk oleh sistem hukum formal?
Asal-usul dan Legitimasi Kepala Adat: antara Garis Keturunan, Roh Leluhur, dan Suara Komunal
Dalam banyak komunitas adat Nusantara, gelar “kepala” tidak muncul dari lembaran birokrasi, ia tumbuh dari benih sejarah, seperti garis keturunan, ritual leluhur, dan pengakuan bersama. Kepala adat adalah simpul legitimasi yang merangkum otoritas religio-kultural sekaligus kewenangan praktis. Ia berbicara atas nama tradisi, menegakkan norma, dan menjadi rujukan ketika konflik muncul. Konsep living law cocok menggambarkan fenomena ini, dimana norma kepemimpinan hidup karena komunitas menghidupkannya, bukan karena tanda tangan di atas kertas.
Namun legitimasi itu rapuh jika digerus arus modernitas. Pendidikan formal, arus agama baru, urbanisasi, dan tekanan ekonomi dapat menggeser preferensi masyarakat, dari menghormati tokoh berdasar keturunan menjadi memilih figur yang efisien atau terampil dalam bernegosiasi dengan negara dan pasar. Ketika sumber otoritas bergeser, makna kepala adat berubah (dari penjaga ritual menjadi mediator utilitarian) dan persoalan siapa yang benar-benar mewakili komunitas menjadi lebih rumit.
Kepala Adat sebagai Pengatur Akses, Penengah Konflik, dan Penjaga Kearifan Lokal
Di luar simbolisme, kepala adat sering menjalankan fungsi manajerial yang nyata, yakni mengatur siapa yang boleh menebang pohon, siapa yang boleh bercocok tanam di areal komunal, serta memutus sengketa pemanfaatan. Dalam praktiknya, kepala adat berperan sebagai pengawal kearifan ekologis serta mengawal aturan yang menjaga keberlanjutan sumber daya untuk generasi berikutnya. Peran ini menempatkan kepala adat pada persimpangan antara norma tradisional dan tuntutan modern tentang pemanfaatan sumber daya.
Konflik mencuat ketika rezim formal, mulai dari sertifikat tanah, izin usaha, atau HGU, bertabrakan dengan aturan ulayat. Kepala adat yang tengah bernegosiasi dengan perusahaan atau aparat sering mengalami dilema, yakni mempertahankan norma kolektif atau menerima kompensasi yang ditawarkan demi kemakmuran sementara komunitas. Dalam banyak kasus, pilihan itu bukan sekadar soal ekonomi, tetapi soal reputasi moral, yakni menjaga kepercayaan komunitas atau kehilangan basis legitimasi yang selama ini menopang kedudukan kepala.
Ketegangan antara Kepemimpinan Adat dan Birokrasi Negara
Masuknya negara ke ranah adat menciptakan dualitas kepemimpinan, yakni kepala adat tradisional di satu sisi, kepala desa atau aparat negara di sisi lain. Ketika negara memberi pengakuan formal, misalnya melalui surat keputusan atau sertifikat, niatnya bisa memperkuat dan melindungi otoritas adat dari intervensi eksternal. Namun, rekognisi itu juga berisiko mengubah fungsi kepala menjadi perpanjangan birokrasi, menihilkan dimensi ritual dan musyawarah yang selama ini menjadi sumber legitimasi.
Akibatnya, pengadilan adat dan mekanisme internal yang dulunya menyelesaikan perselisihan secara komunal bisa makin tergeser oleh prosedur administratif yang kaku. Dampaknya bukan hanya administratif, tetapi juga hilangnya ruang adjudikatif adat yang berarti berkurangnya kapasitas komunitas untuk mereproduksi norma sendiri. Perdebatan tentang rekognisi ini menuntut jawaban: bagaimana memberi tempat bagi tradisi tanpa memaksa-sama bentuknya menyerupai birokrasi negara?
Lalu Bagaimana Masa Depan Kepemimpinan Komunal?
Masa depan kepemimpinan adat tampak menuju bentuk hibrida, yakni simbol ritual kepala tetap ada, tetapi keputusan diambil melalui forum yang lebih inklusif (majelis adat yang menampung suara perempuan, muda, dan kelompok marginal). Reformasi seperti itu bukan pengkhianatan terhadap tradisi, melainkan adaptasi agar norma adat relevan pada konsepsi dari hak asasi, kesetaraan gender, dan tuntutan keberlanjutan.
Perubahan paling substansial kerap lahir dari dalam komunitas. Argumen adat yang menekankan tanggung jawab kolektif dapat dipakai untuk membuka akses kepemimpinan bagi perempuan atau generasi muda tanpa mesti menolak akar historisnya. Dengan demikian, kepemimpinan komunal yang berdaya bukan sekadar soal mempertahankan posisi, melainkan mentransformasikan legitimasi agar tetap hidup, adil, dan mampu melindungi kepentingan kolektif untuk hari ini dan masa depan.
Demikian artikel mengenai Siapa Kepala dalam Rumah Adat? Menyelami Struktur Sosial dan Kepemimpinan Komunal dalam Hukum Adat Indonesia, semoga bermanfaat!
Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.
Kesimpulannya, kepala adat bukan sekadar gelar turun-temurun atau jabatan simbolik, ia adalah simpul legitimasi yang mengikat sejarah, ritual, dan suara komunitas, sekaligus aktor praktis yang mengatur akses atas sumber daya dan merajut ketertiban sosial. Namun modernitas (dalam bentuk negara, pasar, dan teknologi) menguji batas-batas otoritas itu, pengakuan formal bisa memperkuat, tetapi juga berpotensi mengubah kepala menjadi agen birokratis atau komodifikasi kepentingan lokal. Dalam persimpangan itu terletak pilihan, yakni antara mempertahankan bentuk kepemimpinan tradisional apa adanya, atau membiarkannya berevolusi menjadi model hibrida yang lebih responsif pada tuntutan keadilan, inklusivitas, dan keberlanjutan. Pilihan ideal adalah yang memadukan keduanya, menghormati akar ritual sekaligus membuka ruang partisipasi bagi perempuan, pemuda, dan kelompok marginal.
Referensi
Buku
Aprilianti, S.H., M.H. Hukum Adat di Indonesia. Bandarlampung: Pusaka Media, 2022.
Sulistiani, Siska Lis. Hukum Adat di Indonesia. Yogyakarta: Sinar Grafika, 2020.
Jurnal
Fernando, Dadang; Laily Nur Aisah; Tembang M. S. Socialista. “Pengaruh Labelisasi Hak Pengelolaan Terhadap Eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.” Law, Development and Justice Review 8, no. 2 (2025): 106-125. DOI: 10.14710/ldjr.8.2025.106-125.
Irawan, Rizal. “Kedudukan dan Status Tanah Pecatu sebagai Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.” Jurnal Hukum Progresif 9, no. 2 (2021): 158-170.
Parsyah, M. Syahbana, Suryati, & Manalullaili. “Pola Komunikasi Kepala Adat dalam Melestarikan Tradisi Tunggu Tubang di Desa Pulau Panggung Muara Enim.” Jurnal Bisnis dan Komunikasi Digital 1, no. 2 (2024). DOI: 10.47134/jbkd.v1i2.2303.
Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 35/PUU-X/2012.
Artikel Webpage
Humas Kemenko Polhukam RI. “Terobosan Hukum Baru Proses Pengadministrasian dan Pendaftaran Tanah Ulayat Bagi Masyarakat Hukum Adat.” Kemenko Polhukam, 1 Mei 2024. Tersedia pada https://polkam.go.id/terobosan-hukum-baru-proses-pengadministrasian-pendaftaran-tanah-ulayat/
Leks&Co. “Pendaftaran Tanah Ulayat: Pengakuan dan Perlindungan Pemerintah bagi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia.” HukumProperti, 23 Mei 2025. Tersedia pada https://hukumproperti.com/pendaftaran-tanah-ulayat/
Universitas Gadjah Mada. “Pakar UGM: Terdapat Sejumlah Inkonsistensi dalam PP No. 18 Tahun 2021.” Universitas Gadjah Mada — Liputan/Berita, 20 September 2021. Tersedia pada https://ugm.ac.id/id/berita/21701-pakar-ugm-terdapat-sejumlah-inkonsistensi-dalam-pp-no-18-tahun-2021/
Baca Artikel Menarik Lainnya!
Ketika Perundungan Berujung Kematian : Bagaimana P...
21 October 2025
Waktu Baca: 6 menit
Baca Selengkapnya →
Menguak Obstruction of Justice: Ancaman Serius ter...
17 June 2025
Waktu Baca: 5 menit
Baca Selengkapnya →
Olahraga Padel Kena Pajak Daerah atau Pusat? Cari...
25 July 2025
Waktu Baca: 4 menit
Baca Selengkapnya →