Dalam hukum pidana, setiap tindakan yang berujung pada pemidanaan tidak semata-mata dilihat dari akibat perbuatannya saja, tetapi juga dari adanya kesalahan yang melekat pada pelaku. Prinsip klasik "geen straf zonder schuld" atau "tiada pidana tanpa kesalahan" menjadi pondasi utama dalam menentukan apakah seseorang layak dihukum atau tidak. Salah satu bentuk kesalahan paling fundamental adalah opzet atau kesengajaan, dimana pelaku tidak hanya mengetahui akibat perbuatannya, tetapi juga menghendaki atau setidaknya menyadari kemungkinan akibat tersebut terjadi. Namun, seberapa penting sebenarnya pemahaman terhadap konsep opzet ini dalam sistem hukum pidana Indonesia? Mari kita kupas bersama secara mendalam! 


TIADA PIDANA TANPA KESALAHAN

Sebagai salah satu asas fundamental dalam hukum pidana, prinsip "tiada pidana tanpa kesalahan" bukan hanya sekedar slogan normatif, tetapi menjadi filter utama dalam menentukan layak atau tidaknya seseorang dipidana. Prinsip ini menegaskan bahwa tidak semua perbuatan yang menimbulkan akibat hukum dapat serta-merta dikenakan pidana tanpa melihat unsur kesalahan dari pelakunya. 


Lantas bagaimana maksudnya? Dalam hukum pidana, kesalahan mencakup dua bentuk utama: kesengajaan (opzet) dan kealpaan (culpa). Seseorang hanya dapat dijatuhi pidana apabila ia melakukan suatu perbuatan yang melawan hukum dalam keadaan mampu bertanggung jawab dan tanpa alasan pemaaf. Kesalahan bukan sekadar adanya tindakan melanggar hukum, melainkan harus didasarkan pada hubungan kejiwaan antara pelaku dengan perbuatannya, sehingga perbuatan itu pantas dicela secara moral dan hukum.


Menurut Simons, kesalahan adalah adanya keadaan psikis tertentu pada diri pelaku dan adanya hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sedemikian rupa hingga orang itu pantas dicela karena perbuatannya. Sementara itu, Pompe menyatakan bahwa kesalahan pidana harus memenuhi tiga unsur:

  1. Perbuatan yang Melawan Hukum;
  2. Opzet atau Culpa;
  3. Kemampuan Bertanggung Jawab.


Senada dengan itu, Andi Hamzah menyebutkan bahwa kesalahan dalam arti luas mencakup tiga komponen penting:

  1. Sengaja (opzet)
  2. Kelalaian (culpa)
  3. Kemampuan untuk Dipertanggungjawabkan


Selain itu, Moeljatno menambahkan bahwa kesalahan juga mensyaratkan tidak adanya alasan pemaaf serta sikap batin yang menentang larangan (pada opzet) atau mengabaikan kewaspadaan yang seharusnya ada (pada culpa). Dalam konteks ini, orang yang tidak mampu membedakan antara yang benar dan salah seperti anak-anak atau orang dengan gangguan jiwa tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana karena tidak memiliki kemampuan bertanggung jawab.


Dengan demikian, konsep kesalahan menjadi sangat penting dalam memastikan bahwa pemidanaan bukan semata-mata hukuman atas akibat, melainkan juga tanggung jawab atas niat dan kelalaian, serta kemampuan seseorang untuk memahami dan menghindari perbuatannya. Tanpa adanya kesalahan, tidak ada dasar moral maupun hukum untuk menjatuhkan pidana.


KONSEP DASAR OPZET DALAM HUKUM PIDANA

Setelah memahami pentingnya asas tiada pidana tanpa kesalahan dan berbagai unsur yang membentuk konsep kesalahan dalam hukum pidana, kini saatnya memperdalam pembahasan mengenai salah satu bentuk kesalahan yang paling fundamental, yakni opzet atau kesengajaan. Opzet bukan hanya menunjukkan adanya kehendak pelaku dalam melakukan perbuatan pidana, tetapi juga merefleksikan ketercelaan yang paling tinggi dibanding bentuk kesalahan lainnya. Oleh karena itu, memahami konsep dasar opzet menjadi langkah penting untuk menilai apakah suatu tindak pidana dilakukan dengan niat jahat (mens rea) yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.


Meskipun istilah kesengajaan tidak secara eksplisit didefinisikan dalam peraturan perundang-undangan, konsep ini tetap menjadi unsur penting dalam hukum pidana. Baik dalam KUHP lama yang masih berlaku maupun dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) dikenal istilah “dengan rencana terlebih dahulu” yang menggambarkan bentuk kesengajaan dengan unsur perencanaan matang sebelum tindak pidana dilakukan. Hal ini tercermin dalam Pasal 459 KUHP Nasional yang menyatakan bahwa “setiap orang yang dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.” Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa perencanaan sebelumnya dipandang sebagai indikator kesengajaan yang lebih berat karena mencerminkan kehendak yang kuat dan pertimbangan yang matang atas akibat perbuatan yang dilakukan.


Lebih lanjut, menurut risalah Memorie Van Toelichting (MVT) unsur opzet (kesengajaan) dalam hukum pidana diartikan sebagai willen en weten yang bermakna "menghendaki dan mengetahui". Dengan kata lain, seseorang dianggap bertindak dengan sengaja apabila ia tidak hanya melakukan perbuatan secara sadar, tetapi juga dengan rencana lebih dahulu dan menginginkan atau menerima akibat dari perbuatan tersebut. Van Hattum kemudian memperjelas pengertian ini menjadi dua bentuk. Pertama, kesengajaan dalam arti opzet als oogmerk, yakni ketika pelaku secara aktif menghendaki baik perbuatannya maupun akibatnya. Kedua, kesengajaan dalam arti opzet als wetenschap, yaitu ketika pelaku tidak selalu menginginkan akibat, tetapi mengetahui bahwa perbuatannya hampir pasti akan menimbulkan akibat tertentu, dan ia tetap melakukannya.


TEORI DAN SIFAT-SIFAT OPZET

Untuk memahami kesengajaan (opzet) secara lebih mendalam, para ahli hukum pidana telah mengembangkan dua teori utama yang menjelaskan bagaimana unsur batiniah pelaku dapat dinilai, yakni Teori Kehendak (wilstheorie) dan Teori Pengetahuan (voorstellingtheorie). Wilstheorie menekankan bahwa inti kesengajaan terletak pada kehendak pelaku untuk mewujudkan unsur-unsur tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, sehingga pelaku secara sadar dan aktif menginginkan terjadinya perbuatan beserta akibatnya. Sebaliknya, voorstellingtheorie menyoroti aspek kognitif pelaku, di mana kesengajaan dianggap ada apabila pelaku membayangkan bahwa akibat dari perbuatannya sangat mungkin terjadi, meskipun ia tidak secara khusus menghendakinya, dan tetap melanjutkan perbuatannya. Meskipun titik tekannya berbeda, kedua teori ini sama-sama mengakui bahwa adanya kehendak untuk bertindak merupakan unsur mendasar dalam kesengajaan.

Selain perbedaan pendekatan dalam teori, kesengajaan (opzet) dalam hukum pidana juga dibedakan berdasarkan sifatnya, yakni kesengajaan berwarna (gekleurd) dan kesengajaan tidak berwarna (kleurloos). Kesengajaan berwarna mensyaratkan bahwa pelaku tidak hanya menghendaki perbuatan dan akibatnya, tetapi juga memiliki kesadaran bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum atau dilarang oleh norma. Dalam hal ini, kesengajaan disertai dengan dolus malus atau niat jahat, sehingga hubungan antara keadaan batin pelaku dan sifat melawan hukum dari perbuatannya menjadi unsur penting yang harus dibuktikan. Sebaliknya, kesengajaan tidak berwarna tidak menuntut adanya kesadaran bahwa perbuatan melanggar hukum; cukup jika pelaku menghendaki perbuatan tersebut, meskipun ia tidak mengetahui bahwa tindakannya dilarang. Pandangan ini sejalan dengan prinsip fiksi hukum yang menganggap setiap orang mengetahui hukum yang berlaku, dan prinsip ini pula yang dianut dalam sistem hukum pidana di Indonesia.


BENTUK-BENTUK DAN CORAK OPZET DALAM HUKUM PIDANA

Setelah memahami teori-teori serta sifat dasar dari kesengajaan (opzet), pembahasan mengenai kesengajaan belum dapat dikatakan utuh tanpa melihat bagaimana sikap batin pelaku diklasifikasikan lebih rinci dalam praktik hukum pidana. Jika teori dan sifat kesengajaan berfungsi untuk menjelaskan struktur dasar dan karakteristiknya, maka bentuk-bentuk dan coraknya memberikan gambaran konkret mengenai variasi tingkat intensitas kehendak dan pengetahuan pelaku terhadap akibat perbuatannya. Salah satu pandangan yang banyak dirujuk dalam hal ini berasal dari Wirjono Prodjodikoro, yang membagi kesengajaan ke dalam tiga bentuk utama, yaitu:


Kesengajaan Sebagai Maksud (Opzet Als Oogmerk) untuk Mencapai Suatu Tujuan (dolus directus)


Kesengajaan ini terjadi apabila pelaku secara sadar dan sengaja bertujuan langsung untuk menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum. Artinya, akibat pidana adalah sasaran utama dari perbuatan pelaku. Tindakan dilakukan dengan kehendak dan niat penuh untuk mencapai akibat tersebut.

Contohnya adalah ketika seseorang menembak korban di kepala dengan maksud membunuhnya karena dendam pribadi. Dalam hal ini, kematian korban memang menjadi tujuan utama dari perbuatannya.


Kesengajaan dengan Sadar Kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn)


Dalam bentuk ini, pelaku tidak secara langsung menghendaki akibat yang dilarang, namun ia sadar dan tahu pasti bahwa akibat tersebut pasti akan timbul sebagai konsekuensi dari perbuatannya. Akibat tersebut merupakan efek samping yang tak terhindarkan dalam mencapai tujuan tertentu.

Misalnya ketika pelaku meledakkan sebuah mobil yang di dalamnya terdapat barang bukti kejahatan, dan ia tahu bahwa sopir mobil tersebut masih berada di dalamnya. Tujuannya adalah menghancurkan barang bukti, bukan membunuh sopir, tetapi ia sadar sepenuhnya bahwa sopir pasti akan tewas akibat ledakan itu.


Kesengajaan dengan Sadar Kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet).


Pada bentuk ini, pelaku tidak secara pasti tahu atau tidak secara langsung bertujuan menimbulkan akibat yang dilarang, tetapi ia menyadari kemungkinan terjadinya akibat tersebut dan menerima risiko itu. Kesengajaan terjadi karena pelaku tidak mencegah perbuatan meskipun sadar bahwa akibat berbahaya mungkin saja terjadi.


Contohnya ketika seseorang memasukkan racun ke dalam minuman yang disiapkan untuk ayahnya, tetapi ternyata yang meminumnya adalah anaknya. Ia memang tidak berniat meracuni anaknya, namun sejak awal ia menyadari kemungkinan racun itu bisa diminum siapa saja. Karena tetap melakukan perbuatan tersebut, maka ia dianggap menerima risiko, dan kesengajaan tetap terpenuhi dalam bentuk dolus eventualis.


PERBEDAAN OPZET DAN CULPA (KEALPAAN)

Dalam hukum pidana, perbedaan mendasar antara kesengajaan (opzet) dan kealpaan (culpa) terletak pada bentuk kesalahan (schuld) yang melekat pada pelaku dalam kaitannya dengan akibat perbuatan. Kesengajaan menunjukkan bahwa pelaku memiliki kehendak dan pengetahuan terhadap akibat dari perbuatannya, atau setidaknya menyadari kemungkinan terjadinya akibat tersebut dan tetap memilih untuk melanjutkan tindakannya. Sebaliknya, dalam kealpaan, pelaku tidak memiliki kehendak ataupun kesadaran terhadap akibat yang ditimbulkan, namun akibat tersebut terjadi karena kelalaiannya dalam memenuhi standar kehati-hatian yang sepatutnya.


Perbedaan ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga berdampak langsung pada pertanggungjawaban pidana. Kesengajaan mencerminkan bentuk kesalahan yang lebih berat, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan opzet umumnya diancam dengan pidana yang lebih tinggi. Sementara itu, culpa dianggap sebagai bentuk kesalahan yang lebih ringan karena tidak disertai niat jahat, sehingga sanksi pidana yang dijatuhkan pun cenderung lebih rendah. Dengan demikian, penilaian terhadap apakah suatu perbuatan dilakukan dengan sengaja atau karena kelalaian menjadi aspek krusial dalam menentukan kadar pertanggungjawaban pidana seorang pelaku.


Sebagai bentuk konkret dari asas geen straf zonder schuld, pembedaan antara kesengajaan (opzet) dan kealpaan (culpa) memiliki peran krusial dalam menentukan tingkat pertanggungjawaban pidana seseorang. Kesengajaan menunjukkan adanya kehendak atau kesadaran terhadap akibat perbuatan, sementara kealpaan lahir dari kelalaian tanpa disertai niat, meskipun tetap menimbulkan akibat yang merugikan. Perbedaan ini bukan semata-mata bersifat teoritis, melainkan berimplikasi langsung terhadap berat ringannya ancaman pidana dan tingkat kecelaan moral pelaku. Oleh karena itu, pemahaman yang tepat dan cermat atas karakteristik masing-masing bentuk kesalahan ini menjadi prasyarat penting dalam penerapan hukum pidana yang adil, proporsional, dan berbasis pada asas pertanggungjawaban individual.


Demikian artikel mengenai kesengajaan (opzet) dalam ilmu hukum pidana, semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.


Kesengajaan (opzet) dalam hukum pidana adalah bentuk kesalahan di mana pelaku menyadari dan menghendaki akibat dari perbuatannya. Prinsip "tiada pidana tanpa kesalahan" menegaskan bahwa pemidanaan harus didasarkan pada adanya kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun kealpaan (kelalaian). Opzet terbagi dalam beberapa bentuk, seperti sengaja secara langsung, sadar kepastian, dan sadar kemungkinan (dolus eventualis), serta dibedakan antara kesengajaan berwarna (dengan kesadaran hukum) dan tidak berwarna. Pemahaman ini penting untuk menilai tanggung jawab pidana secara adil dan proporsional.

REFERENSI

BUKU

Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 1991.

Moeljatno. Asas-Asas Hukum Pidana,  Jakarta: Bina Aksara, 1983.

JURNAL

Afriani, kinaria. “SENGAJA Dan TIDAK SENGAJA Dalam Hukum Pidana Indonesia.” Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum 7. No 1 (2020). Hlm. 75-85.

Kinontoa, Max Sepang, Lembong. “KEALPAAN YANG MENGAKIBATKAN KEMATIAN ORANG LAIN MENURUT PASAL 359 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP).” Lex Crimen 1. No 11 (2022). Hlm

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Tentang Peraturan Hukum Pidana, UU Nomor 1 Tahun 1946, sebagaimana diubah oleh UU Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Pidana, LN Tahun 2023 No. 1, TLN No. 6842.

WEBSITE

Meliala, Nefa Claudia. “Beberapa Catatan Mengenai Unsur “Sengaja” dalam Hukum Pidana Oleh: Nefa Claudia Meliala.” hukumonline.com. 17 Juni 2020. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/berita/a/beberapa-catatan-mengenai-unsur-sengaja-dalam-hukum-pidana-oleh--nefa-claudia-meliala-lt5ee99dda4a3d2/?page=all. Diakses pada tanggal 14 Juli 2025.

Jayanti, Dian Dwi. “Perbedaan ‘Sengaja’ dan ‘Tidak Sengaja’ dalam Hukum Pidana.” hukumonline.com. 27 Maret 2023. Tersedia pada https://www.hukumonline.com/klinik/a/perbedaan-sengaja-dan-tidak-sengaja-dalam-hukum-pidana-lt5ee8aa6f2a1d3/. Diakses pada tanggal 14 Juli 2025.