Uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI menempatkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada persimpangan penting antara kehendak legislator dan tuntutan keterbukaan demokrasi. Mekanisme uji formil sendiri merupakan alat kontrol prosedural yang seharusnya memastikan setiap tahap pembentukan undang-undang berlangsung dengan partisipasi publik dan akuntabilitas.


Lima hakim menolak seluruh permohonan sementara empat hakim menilai terdapat cacat prosedural yang cukup untuk mengabulkan sebagian, sehingga putusan ini berfungsi bukan sekadar menetapkan legalitas tetapi juga menampilkan konflik interpretatif tentang standar prosedur. Perbedaan pandangan itu menegaskan pentingnya bobot prinsip keterbukaan dan partisipasi publik dalam legislasi. Pertanyaannya, apakah MK seharusnya menuntut perbaikan atau tetap menegaskan finalitas produk legislasi?


Apakah Carry Over dan Prolegnas Membuat Proses Revisi UU TNI Otomatis Sah?


MK mencatat carry over dan pencantuman RUU dalam Prolegnas sebagai dasar hukum untuk melanjutkan pembahasan sehingga mayoritas menolak permohonan uji formil. Dari sudut yuridis, hal ini merujuk pada interpretasi kepatuhan terhadap tata urutan pembentukan peraturan perundang undangan sehingga fokus pengujian mayoritas berada pada kontinuitas prosedural.


Secara teori hukum positivis, jika rangka formal terpenuhi maka legitimasi legal formal dianggap tercapai, namun teori legitimasi partisipatif menuntut lebih dari sekadar formalitas. Problematika muncul ketika formalitas prosedural berjalan tanpa verifikasi praktik keterbukaan yang menjadi unsur penting dalam asas demokrasi deliberatif.


Oleh karena itu, perlu adanya mekanisme yudisial dan administratif yang mampu memeriksa tidak hanya ada atau tidaknya tahapan tetapi juga kualitas pelaksanaannya. Secara garis besar, kepastian prosedur formal harus dipadukan dengan alat verifikasi praktis agar legitimasi hukum tidak hanya bersifat tekstual.


Apakah Publik Benar-Benar Diberi Akses Saat RUU TNI Dibahas?


Para pemohon menekankan hambatan praktis akses naskah akademik dan dokumen pembahasan yang berdampak pada peluang masyarakat memberi masukan substansial. Secara yuridis, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menempatkan asas keterbukaan dan partisipasi sebagai norma pelaksana sehingga argumentasi pemohon berakar pada dugaan pelanggaran asas itu.


Mayoritas hakim menilai adanya tahapan formal yang mencerminkan fasilitasi partisipasi, tetapi dissenting opinion menyorot perbedaan antara formalitas dan keterbukaan nyata di lapangan. Dari perspektif teori partisipasi publik, ketersediaan informasi yang mudah diakses dan waktu memadai untuk menanggapi adalah indikator utama legitimasi proses. Jika bukti empiris menunjukkan akses terbatas maka klaim pelanggaran prosedur menjadi relevan secara yuridis dan dinilai lebih mendalam.


Peran MK: Antara Pengawasan Prosedur dan Batasan Yudisial


Putusan menunjukkan MK memilih menitikberatkan pengawasan terhadap kepatuhan prosedural formal sehingga mengedepankan kepastian hukum legislatif. Secara yuridis, ini mencerminkan pendekatan restriktif yang menghormati prinsip diferensiasi fungsi antara legislatif dan yudikatif dalam pembentukan kebijakan publik. Teori pemisahan kekuasaan dan teori pengawasan hakim mengajarkan terdapat garis tipis antara pengawasan prosedur yang sah dan penilaian substansi yang berisiko mencampuri domain politik.


Dissenting opinion yang lebih proaktif menegaskan peran pengadilan sebagai penjaga konstitusi bukan hanya terbatas pada naskah UU tekstual, terutama bila prosedur dilaporkan tidak menyediakan partisipasi bermakna. Konsekuensinya, jika MK konsisten pada pembatasan ini maka kontrol yudisial atas kualitas demokrasi prosedural bisa melemah. Maka diperlukan keseimbangan institusional di mana MK dapat melakukan review fact sensitive pada aspek keterbukaan tanpa menggusur fungsi legislatif.


Dissenting Opinions: Efek Politik Hukum dan Arah Reformasi Sektor Keamanan


Empat hakim yang berbeda pendapat memberi sinyal yuridis dan politik bahwa meskipun mayoritas menolak, terdapat catatan substantif soal prosedur yang harus diperhatikan pembentuk undang undang. Secara praktis pendapat berbeda ini berpotensi mendorong tekanan publik dan advokasi agar legislator melakukan perbaikan teknis atau perbaikan mekanisme partisipasi, bahkan diusulkan mekanisme perbaikan bersyarat dalam jangka waktu tertentu.


Dari sudut teori legitimasi hukum, dissenting opinion meningkatkan tuntutan akuntabilitas dan dapat memperkuat dorongan reformis di sektor keamanan. Namun secara yuridis putusan mayoritas juga menghadirkan kepastian hukum sementara yang menuntut strategi advokasi berbeda daripada upaya pembatalan total. Implikasi jangka menengah bergantung pada respons legislatif terhadap catatan yudisial dan kemampuan masyarakat sipil untuk menerjemahkannya menjadi agenda perbaikan. Singkatnya, dissenting opinion bukan sekadar argumen terpisah tetapi instrumen normatif yang dapat membentuk arah reformasi bila diikuti tindakan politis dan hukum.


Kesimpulan


Mekanisme carry over dan pencantuman RUU dalam Prolegnas memberi dasar formal bagi kelanjutan pembahasan, tetapi kepatuhan prosedural semata harus dilengkapi alat verifikasi praktik agar legitimasi tidak hanya bersifat tekstual. Keterbukaan dan partisipasi publik tetap menjadi tolok ukur legitimasi; bila naskah sulit diakses atau waktu tanggapan tidak memadai, dugaan pelanggaran asas UU P3 berpotensi kuat secara yuridis.


MK menghadapi dilema antara menjaga kepastian hukum legislatif dan menjalankan fungsi kontrol yudisial yang sensitif terhadap cacat prosedural, sehingga diperlukan keseimbangan institusional yang memungkinkan review fact-sensitive tanpa mencampuri domain politik. Dissenting opinion empat hakim menyimpan muatan normatif penting yang dapat menjadi pemicu perbaikan teknis dan mekanisme partisipasi dalam reformasi sektor keamanan apabila direspon serius oleh legislator dan pengawasan publik.


Demikian artikel mengenai Uji Formil UU TNI Kandas, Mengapa Empat Hakim Konstitusi Justru Berpendapat Berbeda dalam Putusan MK?, semoga bermanfaat!

Jika kamu sudah memahami artikel diatas dan membutuhkan bantuan hukum secara gratis, Kunci Hukum menyediakan layanan konsultasi hukum gratis.

Uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI menempatkan Mahkamah Konstitusi (MK) pada dilema antara menegakkan kepastian hukum legislatif dan memastikan prinsip keterbukaan serta partisipasi publik dalam pembentukan undang-undang. Mayoritas hakim menolak permohonan uji formil dengan berpegang pada formalitas prosedural, termasuk mekanisme carry over dan pencantuman RUU dalam Prolegnas, sementara empat hakim dissenting opinion menyoroti cacat prosedural yang menghambat partisipasi publik yang bermakna, menegaskan perlunya verifikasi praktik keterbukaan, bukan sekadar kepatuhan formal. Perselisihan ini menunjukkan ketegangan antara teori hukum positivis yang menekankan legalitas formal dan teori legitimasi partisipatif yang menekankan akses dan kualitas partisipasi publik. Dissenting opinion memiliki potensi normatif dan politis untuk mendorong reformasi teknis dan mekanisme partisipasi di sektor keamanan, meskipun putusan mayoritas memberikan kepastian hukum sementara; secara keseluruhan, kasus ini menekankan pentingnya keseimbangan institusional agar MK dapat meninjau aspek faktual keterbukaan tanpa mencampuri domain legislatif.

Referensi

Buku

Asshiddiqie, Jimly. The Dynamics of Contemporary Democratic Constitutionalism. Depok: Rajawali Press, 2022, hlm. 1-24.

Palguna, I. D. G. dan Isra, Saldi. The Constitutional Court and Human Rights Protection in Indonesia. Depok: Rajawali Pers, 2022, hlm. 45–72.

Jurnal

Chandra, S. Y., Helmi, dan Irawan, Shelvin Putri. “Perluasan Makna Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Undang-Undang Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.” Jurnal Konstitusi 19, no. 4 (2022): 766-793. https://doi.org/10.31078/jk1942 

Ishomuddin, Moh. “Penyimpangan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 Terkait Penerapan Partisipasi yang Bermakna.” Jurnal Ilmu Hukum Wijaya Putra (JIHWP) 3, no. 1 (2022). https://doi.org/10.38156/jihwp.v3i1.210 

Ummah, Vina Rohmatul. “Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.” Staatsrecht: Jurnal Hukum Kenegaraan dan Politik Islam 2, no. 2 (2022). https://doi.org/10.14421/staatsrecht.v2i2.2813 

Tesis

Syafril, Nur Fathimah Azzahra. “Pengujian Formil Undang-Undang di Indonesia (Tinjauan Kritis terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi).” Tesis Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2023.

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN Tahun 2003 No. 98, TLN No. 4316, sebagaimana diubah dengan UU No. 7 Tahun 2020, LN Tahun 2020 No. 243, TLN No. 6571.

Indonesia. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 12 Tahun 2011, LN Tahun 2011 No. 82, TLN No. 5234, sebagaimana diubah dengan UU No. 13 Tahun 2022, LN Tahun 2022 No. 143, TLN No. 6801.

Artikel Webpage

Firyalfatin. “MK Tolak Uji Formil UU TNI, 4 Hakim Dissenting Opinion.” Hukumonline.com, 17 September 2025. Diakses 17 September 2025. https://www.hukumonline.com/berita/a/mk-tolak-uji-formil-uu-tni--4-hakim-dissenting-opinion-lt68cad567bbe01/ 

Harahap, Devi. “MK Tolak Permohonan Terakhir Uji Formil UU TNI.” Metrotvnews.com, 17 September 2025. Diakses 17 September 2025. https://www.metrotvnews.com/read/b2lCpRzG-mk-tolak-permohonan-terakhir-uji-formil-uu-tni