Sengketa tanah merupakan konflik yang kompleks dan melibatkan proses yang pelik dalam penyelesaiannya. Salah satu kasus sengketa tanah yang tengah mencuat adalah sengketa mafia tanah Mbah Tupon. Kronologi bermula ketika, Tupon Hadi Suwono alias Mbah Tupon (68), warga Ngentak, Bangunjiwo, Kapanewon Kasihan, Bantul hendak memecah bidang tanahnya seluas 1.655 m2 untuk dijadikan agunan kredit sebesar Rp1,5 miliar di sebuah bank. Namun, secara mengejutkan, keluarga mendengar tanah tersebut akan dilelang. Kepemilikannya beralih menjadi atas nama Indah Fatmawati berdasarkan akta jual beli yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di wilayah Bantul.


Pada tahun 2020, Mbah Tupon yang memiliki tanah seluas 2.103 meter persegi hendak menjual dan mewakafkan tanahnya dengan pembagian sebesar 292 m2 untuk dijual, diwakafkan menjadi gudang RT sebesar 55 m2, serta diwakafkan menjadi jalan sebesar 101 m2. Kemudian pada tahun 2022-2023, Mbah Tupon dimintakan sertifikat tanahnya oleh Bibit Rustamta dengan modus akan dibaliknamakan. Pada Januari 2024, Mbah Tupon didatangi oleh Triono Kumis dan Triyono dengan alasan menandatangani dokumen proses pecah empat bidang. Penandatangan dilakukan tanpa dibacakan klausulnya padahal Mbah Tupon buta huruf. Akhirnya Mbah Tupon menandatangani dokumen tersebut.


Namun, di tengah penyelesaian kasus tersebut Mbah Tupon digugat oleh Pengadilan Negeri Bantul tentang perbuatan melawan hukum. Gugatan nomor perkara 67/Pdt.G/2025/PN Btl diajukan oleh M Achmadi dan Indah Fatmawati sebagai penggugat. Akan tetapi, dalam perkara ini Mbah Tupon hanya menjadi turut tergugat untuk memenuhi syarat formil dengan tergugat utama adalah Triono. Gugatan ini terkait perbuatan melawan hukum (PMH) kesepakatan lisan antara penggugat dan tergugat. Dalam hal ini penggugat adalah antara Achmadi dan Mbah Tupon, karena Mbah Tupon mendasarkan hal tersebut pada pecah sertifikat dan Achmadi menanggapinya sebagai jaminan atau jual beli dengan balik nama. Sebenarnya, bagaimana kasus sengketa tanah Mbah Tupon jika ditinjau dari perspektif hukum perdata? Simak pembahasan berikut ini!


Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), PMH diatur dalam Pasal 1365 yang menyatakan bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum dan menyebabkan kerugian kepada pihak lain mewajibkan pelaku untuk mengganti kerugian tersebut. Sebuah perbuatan dapat dikatakan sebagai PMH apabila memenuhi empat unsur, yaitu perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian, serta hubungan sebab akibat.


Dalam kasus gugatan perdata Mbah Tupon, penggugat menilai bahwa Triono telah melakukan PMH dengan memberikan informasi palsu mengenai kesediaan Mbah Tupon untuk menjaminkan tanahnya. Kemudian, dari segi kesalahan (schuld) Triono diduga sengaja atau lalai dalam memberikan informasi yang tidak sesuai fakta yang menyebabkan penggugat mengambil keputusan keliru dalam transaksi. Akibatnya, penggugat mengalami kerugian materiil dan immateriil karena informasi keliru tersebut. Dari segi hubungan sebab akibat, kerugian penggugat dianggap sebagai akibat langsung dari informasi keliru yang diberikan Triono.


Selain gugatan perdata dari Achmadi dan Fatmawati, Mbah Tupon sendiri juga menjadi korban potensial PMH dalam proses peralihan sertifikat tanahnya. Unsur perbuatan melawan hukum dapat dilihat dari pihak-pihak yang terlibat melakukan tindakan melawan hukum dengan memanipulasi dokumen yang ditandatangani Mbah Tupon. Karena ia buta huruf, ia tidak mengetahui isi dokumen yang menunjukkan adanya pelanggaran asas itikad baik. Hal ini berkaitan dengan unsur kesalahan, dimana pihak yang menguasai dokumen (Triono Kumis dan Triyono) dengan sengaja mengalihkan sertifikat tanpa sepengetahuan Mbah Tupon. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa dokumen yang ditandatangani tidak dibacakan klausulnya oleh Triono Kumis dan Triyono. Akibatnya, Mbah Tupon mengalami kerugian, yaitu terancam kehilangan tanah dan dua rumah yang berdiri di atasnya. Kerugian ini merupakan akibat langsung dari manipulasi dokumen dan peralihan sertifikat tanpa persetujuannya.


Keabsahan Perjanjian dan Cacat Kehendak

Gugatan ini berpusat pada kesepakatan lisan antara Ahmadi dan Triono. Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, sebuah perjanjian harus memenuhi syarat berupa kesepakatan antara para pihak, kecakapan para pihak, objek tertentu, dan sebab yang halal. Dari kasus tersebut, kesepakatan didasarkan pada informasi palsu sehingga perjanjian dapat dibatalkan karena cacat kehendak seperti penipuan (bedrog) atau kekhilafan (dwaling). Bagi Mbah Tupon, cacat kehendak jelas terlihat. Mengingat kondisi buta huruf yang dialaminya ia menandatangani dokumen tersebut tanpa mengetahui klausulnya yang mengindikasikan adanya penipuan atau kekhilafan dalam proses peralihan sertifikat.


Dalam Pasal 1321 KUHPerdata mengatur bahwa tiada suatu persetujuan mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan. Jika salah satu unsur kecacatan ditemukan dalam suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Pihak yang merasa dirugikan akibat cacat kehendak dapat mengajukan pembatalan ke pengadilan.


Dukungan Hukum dan Proses ke Depan

Pemerintah Kabupaten Bantul, melalui tim hukum yang dipimpin oleh Kepala Bagian Hukum Setda, memberikan pendampingan penuh kepada Mbah Tupon. Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, menyebut gugatan perdata terhadap Mbah Tupon sebagai “tidak masuk akal,” mengingat statusnya sebagai korban. Sidang pertama gugatan ini dijadwalkan pada 1 Juli 2025, dengan kemungkinan mediasi untuk mencari solusi, termasuk pengembalian sertifikat atas nama Mbah Tupon.


Proses pidana yang berjalan paralel di Polda DIY juga dapat memengaruhi perkara perdata. Jika terbukti adanya tindak pidana penipuan atau pemalsuan, posisi Mbah Tupon dalam gugatan perdata akan semakin kuat. Pemblokiran sertifikat oleh BPN menjadi langkah protektif untuk mencegah kerugian lebih lanjut bagi Mbah Tupon.



Kasus Mbah Tupon dari perspektif hukum perdata dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Status Mbah Tupon yang dijadikan sebagai turut tergugat dikarenakan objek yang disengketakan adalah tanah atas namanya. Kasus ini mencerminkan kecacatan dalam perjanjian, terlebih lagi dalam melakukan perjanjian Mbah Tupon tidak mengetahui klausul perjanjian karena kondisi buta hurufnya sehingga terdapat unsur penipuan dalam perjanjian tersebut. Oleh karena itu, diperlukan adanya pendampingan hukum terhadap Mbah Tupon sehingga ia dapat memperoleh keadilan yang layak atas hak kepemilikan tanahnya.


Kasus sengketa tanah Mbah Tupon mencerminkan kompleksitas konflik agraria dalam perspektif hukum perdata, khususnya terkait perbuatan melawan hukum dan cacat kehendak dalam perjanjian. Sengketa ini bermula dari upaya Mbah Tupon memecah tanahnya untuk agunan, namun kepemilikan tanah tersebut justru beralih secara ilegal melalui dokumen yang ditandatangani tanpa pemahaman karena ia buta huruf. Meskipun turut digugat dalam perkara perdata, posisi Mbah Tupon lebih tepat sebagai korban karena unsur perbuatan melawan hukum terpenuhi, yakni adanya perbuatan melawan hukum, kesalahan, kerugian, dan hubungan sebab akibat. Selain itu, perjanjian yang melibatkan Mbah Tupon juga cacat hukum karena tidak memenuhi unsur kesepakatan yang sah sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pemerintah daerah memberikan pendampingan hukum, dan proses pidana yang berjalan paralel berpotensi memperkuat posisi Mbah Tupon dalam upaya memperoleh kembali hak atas tanahnya.

Referensi

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kusuma, Wijaya, Krisiandi, “Kronologi Kasus Mafia Tanah Mbah Tupon, Pelaku Manfaatkan Korban yang Buta Huruf, Kerugian Rp 3,5 Miliar.” kompas.com. 20 Juni 2025. Tersedia pada https://yogyakarta.kompas.com/read/2025/06/20/205904978/kronologi-kasus-mafia-tanah-mbah-tupon-pelaku-manfaatkan-korban-yang-buta?page=all. [Diakses pada 24 Juli 2025]

Febriari, Silvana, “Mbah Tupon Korban Mafia Tanah Digugat Rp500 Juta.” metrotvnews.com. 19 Juni 2025. Tersedia pada https://www.metrotvnews.com/play/NLMCJDX1-mbah-tupon-korban-mafia-tanah-digugat-rp500-juta [Diakses pada 25 Juni 2025].

Pahlevi, R. R., Zaini, Z. D., & Hapsari, R. A. Analisis Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatigedaad) Terhadap Sengketa Kepemilikan Hak Atas Tanah. Pagaruyuang Law Journal, 5(1). (2021). Hal. 18-28.

Rachman, Myesha Fatina, “Kronologi Mbah Tupon Korban Mafia Tanah.” tempo.co. 13 Mei 2025. Tersedia pada https://www.tempo.co/hukum/kronologi-mbah-tupon-korban-mafia-tanah-1422208. [Diakses pada 22 Juli 2025].

Rahman, A, Ramadhanty, A, Rusli, E, Purnama, M. “Strategi Penegakan Hukum dalam Penyelesaian Praktik Mafia Tanah dengan Instrumen Hukum Perdata di Indonesia.” As-Syari’i: Jurnal Bimbingan dan Konseling Keluarga 6 No. 3. (2024). Hal. 2000-2012.