Jakarta – Perjalanan hukum mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, dalam kasus mega korupsi proyek pengadaan KTP elektronik (e-KTP), memasuki babak baru setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukannya. Perkara ini pertama kali didaftarkan ke MA pada 6 Januari 2020, dengan nomor perkara 32 PK/Pid.Sus/2020. 


Meski membutuhkan waktu 1.956 hari atau lebih dari lima tahun, palu akhirnya diketuk pada 4 Juni 2025 oleh majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Surya Jaya dengan anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono. Putusan yang dibacakan dalam sidang Peninjauan Kembali tertutup ini secara resmi ditetapkan dan kemudian diunggah ke laman Kepaniteraan MA dengan amar putusan: “Kabul.”


Sebelum finalnya putusan tersebut, Setya Novanto telah lebih dahulu dijatuhi hukuman oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta pada tahun 2018. Kala itu, ia divonis 15 tahun penjara, denda sebesar Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan, kewajiban membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta dikurangi Rp5 miliar yang telah dititipkan kepada penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), serta hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik untuk menduduki jabatan publik selama lima tahun setelah menyelesaikan masa pidananya, menurut laporan dari detik.com.


Vonis tersebut dijatuhkan lantaran majelis hakim menilai Novanto terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam hal ini, kerugian negara yang ditimbulkan mencapai angka fantastis, yakni sekitar Rp2,3 triliun.


Namun, dalam putusannya yang mengejutkan publik, Mahkamah Agung justru menyetujui permohonan PK dan mengurangi masa pidana penjara. Vonis yang semula 15 tahun diringankan menjadi 12 tahun dan 6 bulan dengan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar USD 7,3 juta, dengan catatan dikurangi Rp5 miliar yang telah disetorkan sebelumnya. Sisa uang pengganti senilai Rp49.052.289.803 wajib dibayar, atau diganti dengan hukuman penjara selama dua tahun jika tidak dilunasi.


Tak hanya itu, MA juga mengurangi masa pencabutan hak politik Setya Novanto. Dari yang  sebelumnya lima tahun, menjadi dua tahun enam bulan, terhitung sejak ia selesai menjalani masa pidana pokoknya. Pertimbangan putusan ini memang belum dijelaskan secara detail oleh majelis hakim, namun publik mempertanyakan logika pengurangan hukuman terhadap salah satu terpidana dalam skandal korupsi terbesar di Indonesia tersebut.


Pengacara Setya Novanto, Maqdir Ismail, belum memberikan tanggapan resmi terkait putusan PK ini. Namun, dengan dikabulkannya upaya hukum luar biasa ini, tampak bahwa upaya Novanto untuk mereduksi konsekuensi hukum terhadap dirinya membuahkan hasil yang signifikan. Terlepas dari itu, keputusan MA ini membuka kembali ruang diskusi publik soal konsistensi pemberantasan korupsi dan komitmen sistem peradilan dalam memberikan efek jera terhadap pelaku korupsi kelas kakap.


Penulis: Fairuz Fakhirah

Editor: Rahma Ardana Fara Aviva